Merantau dan Merindu


Kliring.com - Di sebuah kampus negeri di kota Yogyakarta, hiduplah seorang mahasiswa perantau bernama Shinta. Ia berasal dari sebuah desa di pulau Sumatera. Keberangkatan Shinta ke kota ini adalah sebuah pilihan besar yang ia buat untuk mengejar pendidikan tinggi dan mengejar impian. Namun, di balik kesibukannya dengan kuliah dan aktivitas kampus, ada kerinduan mendalam yang terpendam dalam hati Shinta—kerinduan akan kampung halamannya.

Foto: Sepiani br Sembiring

Setiap kali pulang ke kos setelah mengikuti kuliah, Shinta seringkali meluangkan waktu untuk duduk di depan jendela kamarnya. Ia memandang langit senja yang indah dengan warna-warna gradasi. Di balik cahaya kota yang gemerlap, Shinta tak dapat menahan kerinduannya akan kampung halaman. Ia teringat betapa langit di kampungnya begitu luas, dipenuhi gemerlap bintang, dan bulan yang terang benderang.

Shinta teringat betapa ia sering bermain di ladang dengan saudara-saudaranya, berlarian di antara padi yang menghijau, dan menghirup udara segar yang penuh dengan aroma petani. Ia merindukan kehangatan senyum ibu yang selalu menyediakan makanan lezat setiap kali ia pulang sekolah. Kenangan-kenangan manis itu membuat hatinya merasa hangat dan penuh rasa syukur.

Meskipun hidupnya di kota penuh dengan peluang dan kecanggihan teknologi, terkadang Shinta merasa  kesepian. Ia memiliki teman-teman di kampus, tetapi hubungan itu terasa tidak sehangat dan selaras dengan ikatan persaudaraan yang dimiliki bersama saudara-saudaranya di kampung halaman. Ia merindukan kebersamaan dan keakraban yang ia rasakan di sana. Shinta selalu tidak sabar ketika waktu liburan semester tiba, dimana dia akan segera pulang untuk mengobati rindu akan kampung halamannya yang sudah menumpuk itu.

Suatu hari, Shinta menerima kabar dari ibunya bahwa bibinya, orang yang sangat dekat dengan Shinta, sedang dirawat di rumah sakit dan sedang berada dalam masa kritis. Berita itu seperti petir di siang bolong bagi Shinta, kerinduannya akan kampung halaman terasa semakin mendalam. Ia ingin segera pulang untuk menjenguk bibinya yang sedang sakit.

Namun, kewajiban Shinta menjalani kuliah dan masalah tiket pesawat yang mahal membuat Shinta bingung. Ia merasa bimbang dan gelisah, takut bahwa keputusannya nanti akan membuat Shinta menyesal di kemudian hari.

Beberapa hari kemudian, ibu Shinta mengabari bahwa bibinya telah berpulang kepada Sang Pencipta. Berita itu sangat mengejutkan dan mengguncang Shinta, ia sangat sedih dan  semakin bingung apakah dia harus pulang atau tidak. Meskipun begitu, Shinta memutuskan untuk tidak pulang karena masalah ekonomi yang tidak mendukung untuk pulang juga belum waktunya untuk libur dari perkuliahan.

Semenjak saat itu, Shinta berusaha untuk tetap bersabar menunggu waktunya libur kuliah datang. Saat dimana ia akan pulang ke kampung halamannya. Shinta memulai perkuliahannya dengan tetap berdoa kepada Tuhan agar tetap diberi kesehatan dan kekuatan, walaupun dalam hati Shinta sangat merindukan kampung halamannya.

Hari demi hari pun berlalu. Shinta bertemu dengan seorang senior di kampus yang juga pernah merantau. Senior tersebut berbagi kisah dan pengalamannya saat menghadapi dilema serupa. Ia memberikan nasihat berharga kepada Shinta, "Kerinduan akan kampung halaman adalah hal yang alami bagi setiap perantau. Tapi kamu harus mengenali dirimu sendiri dan apa yang sebenarnya ingin kamu capai. Ada saatnya kamu harus pulang, ada saatnya kamu harus bertahan dan mengejar impianmu di kota ini."

Nasihat itu memberikan sedikit kelegaan bagi Shinta. Dari nasihat seniornya itulah Shinta juga teringat nasihat yang diberikan orang tua Shinta kepadanya, “ Bagaimanapun juga kamu harus menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai, kamu harus semangat dan tetap berdoa dalam menjalani hari-harimu di sana, kamu harapan kami untuk mengangkat derajat keluarga kita.”

Ia menyadari bahwa tak selalu mudah menghadapi kerinduan, tapi dia juga perlu berfokus pada tujuan dan impian yang ia kejar. Dengan mengirim pesan dan telepon setiap hari, Shinta berusaha memberikan dukungan moral kepada keluarganya di kampung halaman.

Tak butuh waktu lama bagi Shinta untuk mulai memberikan semangat kepada dirinya sendiri supaya tetap kuat. Ia merasa bersyukur atas kesempatan untuk terus mengejar pendidikannya di kota ini. Ia menyadari bahwa hidup sebagai mahasiswa perantau tidak selalu mudah. Tetapi di balik kerinduan itu, ada rasa syukur serta kebahagiaan yang ia rasakan karena ia bisa belajar dan tumbuh sebagai individu yang lebih baik.

Beberapa bulan pun berlalu, tibalah saatnya libur semester. Shinta yang sudah memesan tiket pesawat jauh-jauh hari sedang bersiap-siap untuk meninggalkan kosnya untuk beberapa waktu. Dengan wajah yang ceria, Shinta pun segera memesan ojek online untuk mengantarkannya ke stasiun kereta api. Setelah sampai di stasiun kereta api, Shinta langsung bergegas masuk ke dalam kereta api. Sesampainya di bandara, wajah Shinta terlihat semakin ceria. Shinta menatap setiap sudut bandara dengan senyumannya yang seakan menyiratkan bagaimana bahagianya dia yang akan segera pulang ke kampung halamannya.

Foto: Sepiani br Sembiring

Setelah kurang lebih tiga jam di dalam pesawat, akhirnya sampailah Shinta di bandara terdekat dari rumahnya. Setelah menyelesaikan prosedur bandara, Shinta bergegas menghampiri bus yang akan membawanya pulang. Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam menggunakan bus. Shinta turun dari bus dengan tidak sabar untuk menghirup udara kampung halamannya lagi. Sesampainya Shinta di rumah, Shinta disambut hangat oleh keluarganya yang sudah lama tidak bertemu. Kehangatan itulah yang seringkali dirindukan oleh Shinta.

Dengan semangat dan tekad yang baru, Shinta berkomitmen untuk tetap menggapai impian menjadi seorang yang sukses. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ketika ia berhasil meraih kesuksesan, ia akan kembali ke kampung halamannya untuk berbagi kebahagiaan dan kesuksesannya dengan keluarga dan teman-teman di sana. Kini, kerinduannya akan kampung halaman menjadi pendorong bagi Shinta untuk selalu berusaha lebih baik dan memberikan yang terbaik dalam setiap langkahnya.


" Meraih masa depan yang cerah tidak akan didapat dengan mudah, kamu harus mau berkorban untuk mendapatkan hal itu."

B.J. Habibie

Penulis: Sepiani br Sembiring

Penyunting: Annisa Nur Widya Fauzia


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama