Hari Raya Nyepi
Source : http://www.herworld.co.id (Dok. Anantara Seminyak )
Nyepi
adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini
jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian
dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup.
Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.
Nyepi
berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan
perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai
sejak tahun 78 Masehi dan Nyepi pada tahun ini tepat pada hari Sabtu, 17 Maret
2018 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali
dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan
ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun
tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan
utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk
menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos
(alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara
yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.
Sejarah Nyepi Umat Hindu.
Bila
Anda tinggal di Bali, pasti akan merasakan suasana Nyepi yang jarang ditemui di
kota lain di Indonesia. Di Bali umat Hindu merayakan Nyepi secara serentak.
Nyepi yang identik dengan suasana sepi dan gelap gulita ternyata mempunyai
sejarah nya sendiri.
Kita
semua tahu bahwa agama Hindu berasal dari India dengan kitab sucinya Weda. Di
awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya
digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan.
Pertikaian
antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya)
menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar suku
menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan
kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap
kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling
berbeda terhadap ajaran yang diyakini. Dan pertikaian yang panjang pada
akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang
dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka tanggal 1 (satu hari sesudah tilem)
bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.
Dari
sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari
keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya
bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda.
Sejak
tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka,
yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya
disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih
Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan
bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.
Oleh
karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari
pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari
kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan
keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampal ke Indonesia.
Kehadiran
Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa
Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah
berumur 4,5 abad.
Dinyatakan Sang Aji
Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun
saka ini, jüga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan! pengiring atau
caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo
padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia,
samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan
kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.
Rangkaian peringatan Pergantian Tahun Saka
Peringatan
tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan
ada rangkaian acaranya antara lain :
1. Upacara melasti, mekiyis dan melis
Intinya
adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau
alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan
segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian
untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining
amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam
paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai
kekuatan yang menyucikan).
2. Menghaturkan bhakti/pemujaan
Di
Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari
mekiyis.
3. Tawur Agung/mecaru
Di
setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan.
Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta,
sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang
diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana
agung bhuana alit).
Dilanjutkan
pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan
lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga
dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya
serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat
bhutanya masih tersisa pada orangnya).
4. Nyepi (Sipeng)
Dilakukan
dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati
lelungan dan amati lelanguan).
5. Ngembak Geni. Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima
krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang
lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.
Yadnya
dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30
dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham
apnoti, sraddhaya satyam apyate.
Artinya
: Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita
mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan
kehormatan kita memperoleh kebenaran.
Sesungguhnya
seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka
itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar
kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis
dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia
dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para
leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah
dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan
bhuana agung bhuana alit.
Pelaksanaan
catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara din sejati (Sang Atma)
seseorang umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam din manusia ada sang din /atrnn (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta
Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa).
Sima
krama atau dharma Santi adalah dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana
yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat
meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada
pengalaman selama ini. Maka dengan peringatan pergantian tahun baru saka
(Nyepi) umat telah melakukan dialog spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan
yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama
manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama.
Namun patut juga diakui bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun
2009 ini, ada saja godaannya. Baik karena sisa-sisa bhutakalanya, sisa
mabuknya, dijadikan kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain.
Dunia nyata ini memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk,
menang-kalah, kaya-miskin, sengsara-bahagia dst. Manusia berada di antara itu
dan manusia diuji untuk mengendalikan diri di antara dua hal yang saling
berbeda bahkan saling berlawanan.