Mereka
berjalan beriringan memenuhi jalan, membawa bendera-bendera kelompok, spanduk-spanduk
propaganda, serta atribut demonstrasi lainnya. Mereka menamakan diri sebagai Gerakan
Solidaritas Menolak UU MD 3. Seorang mahasiswi yang mengenakan almamater universitas
berwarna biru muda mondar-mandir membagikan tumpukan kertas kepada orang yang
berada di sekitarnya. Pers Rilis tertulis di bagian atas halaman tersebut. Tertulis
juga lebih dari 70 nama organisasi kemahasiswaan yang bergabung dalam aksi
tersebut.
Agus,
seorang mahasiswa sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Mukanya kucal,
keringat bercucuran di peluhnya. Sambil mengenakan almamater kampusnya dia
berdiri mengepalkan tangan dan sesekali bernyanyi meneriakkan yel-yel
perjuangan. Dia adalah kawan lamaku. Aku tak mengira dia akan datang di aksi
itu, aksi solidaritas menolak revisi UU MD3. Padahal aku mengenal dia tidak
begitu peduli dengan acara seperti itu. Kusalami pula kawan-kawan yang datang bersamanya.
“Hari ini kampusku libur,” candanya sembari tertawa ringan. Memang rombongan
dari kampusnya cukup banyak dengan seragam almamater yang mencolok mata.
Siang
yang terik di tanggal 20 Maret 2018 mengiringi perjalanan kami. Rombongan
berhenti di depan kantor DPRD DIY untuk mengajukan tuntutan. Kepalan tangan
seruan yel-yel memekik memenuhi halaman kantor DPRD. Rasa persatuan menyelimuti
kepal tangan para aktivis kampus. HMI, GMNI, FMN, PMII, SAPMA PP, BEM, dan DPM berbagai kampus serta berbagai
kelompok lainnya bersatu padu untuk satu tujuan, menolak kesewenang-wenangan
wakil rakyat.
“Bubarkan
DPR yang anti kritik!” teriak salah seorang orator. Tak kalah semangat masa
aksi bersahutan membalas, “Bubarkan! Bubarkan!“ Pasukan Sabhara Polisi bersiaga
di sekitaran masa aksi. Agaknya mereka was-was jika terjadi chaos dengan massa sebanyak itu.
Tak
lama kemudian, salah seorang perwakilan DPRD menghampiri pusat massa aksi.
Bapak Danang namanya, anggota Komisi D DPRD DIY. Cibiran kepadanya terdengar
dari ujung-ujung kerumunan massa aksi. Pak Danang mencoba mencairkan suasana
dengan meneriakkan jargon wajib, “Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!”
Hanya segelintir dari massa aksi yang menanggapi jargonnya. Nampaknya mereka
terlanjur sinis dengan para wakil rakyat.
“Saya
menolak Undang-Undang MD3 dan saya akan meneruskan aspirasi masyarakat dan
mahasiswa di Yogyakarta, baik melalui jalur politik maupun jalur struktural,”
begitulah kira-kira orasi politik beliau yang disambut dengan riuh tepuk
tangan.
Belum
puas dengan tanggapan pihak DPRD, massa kembali meneruskan orasi. Kali ini
Presiden Mahasiswa UGM, Obed Kresna sudah tidak tahan lagi untuk naik ke podium.
Dia meneriaki dan menyemangati barisan massa aksi. Konsentrasi massa yang
sempat berhamburan kembali terfokus dengan orasi Obed yang bergairah.
“Jangan
jadi wakil rakyat yang bodoh, yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat!“
pekik Obed. Massa aksi tertegun kagum mendengar orasi berani Obed. Bahkan dia
mempropaganda massa aksi agar menurunkan bendera setengah tiang di halaman
kantor DPRD. Sayang, niatan tersebut gagal, tiang bendera sudah dijaga ketat
oleh polisi. Untuk menghidari perselisihan dengan pihak kepolisian, koordinator
lapangan menyarankan agar massa aksi melanjutkan long march menuju titik nol kilometer Jogja.
“Maaf para wisatawan,
hari ini jalan malioboro milik kami para mahasiswa,” gumamku sambil meneguk air mineral
yang kubeli dari sebuah kios. Sesekali kulihat masyarakat nampak antusias
menyaksikan rombongan aksi massa yang lewat sambil bernyanyi lagu-lagu
perjuangan. Bisa dibilang aksi ini merupakan aksi demonstrasi terbesar para mahasiswa
di Jogja beberapa tahun terakhir. Ajakan kepada masyarakat untuk mengikuti aksi
masih saja terdengar dari pengeras suara. Di atas mobil pick up, orator tak henti-hentinya meneriakkan tuntutan dan yel-yel
perjuangan.
Sesampainya
di titik nol km, massa membentuk lingkaran memadati perempatan nol kilometer. Suara
klakson kendaraan bermotor yang kesal akan perilaku massa aksi menambah kesan
riuh sore itu. Perwakilan masing-masing organisasi satu per satu naik podium
untuk melakukan orasi politik. Berulang kali tuntutan massa diteriakkan oleh
orator, mungkin pula massa aksi bosan juga dengan orasi sama yang diulang-ulang.
Sampai seorang mahasiswa nekad naik ke atas truk Pertamina yang sedang melewati
kerumunan massa aksi. Sembari sesekali menyibakkan
rambutnya yang gondrong, dia meneriakkan kata-kata orasi dengan penuh semangat.
Massa aksi kembali riuh menepuk tangan kepada mahasiswa berani tersebut. Namun,
tak lama kemudian orang berbaju oranye-hitam menyuruh mahasiswa tersebut untuk
turun dari truk. Tanpa menghiraukan ajakan tersebut, mahasiswa itu masih saja
asyik dengan orasinya. Dengan terpaksa, orang berbaju oranye-hitam menarik
turun mahasiswa itu. Ketegangan tak bisa dihindarkan antara kawan-kawan si
mahasiswa dan kawan-kawan orang berbaju oranye hitam. Aneh saja, pada saat yang
seperti ini masih ada pihak lain yang mencoba memecah konsentrasi massa aksi.
“Hati-hati... Hati-hati provokasi...” seru sang orator diikuti oleh massa aksi.
Namun, ketegangan berhasil diredam oleh koordinator lapangan. Orasi kembali
dilanjutkan oleh perwakilan organisasi yang bergabung dalam aksi. Sekitar pukul
lima sore, massa aksi membubarkan diri dengan tertib.
Kulihat
jam dinding kamar kos sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Teman-teman yang
lain masih asyik dengan smartphone-nya
masing-masing. Bayangan suasana aksi tadi siang masih saja terngiang-ngiang di
kepala. Seruan tuntutan, peluh keringat, tawa canda para mahasiswa membayangi
pikiranku malam ini. Aku teringat perbicanganku tadi siang dengan salah seorang
kawanku dari HMI. Dia datang bersama rombongan HMI cabang Jogja. Berperawakan
sedang, rambut keriting, dan kulit hitam. Sembari menawariku sebatang rokok dia
mengajakku mengobrol. Kutolak dengan halus tawaran rokoknya. Sesekali dia
menertawai kawan-kawannya yang berteriak dengan teriakan khas orang timur.
Mungkin baginya adalah hal yang wajar jika tensi agak sedikit naik. “Maen-maen, lah. Biar remean dikit,”
katanya sembari menekuk siku dengan jari mengempit rokok.
Namun,
yang aku pikirkan sekarang adalah mengapa salah satu organisasi mahasiswa besar
tak satupun menyertakan perwakilannya dalam aksi tersebut? Mungkinkah mereka
segan terhadap beberapa seniornya yang duduk di kursi dewan? Mereka yang ngotot untuk mengesahkan UU MD3? Aku
harap mereka hanya lalai dan mungkin tak sempat mendaftarkan diri dalam aksi
tersebut. Aku harap pula aksi yang sedemikian tadi tak ditunggangi aktor
politik demi kepentingan suatu golongan. Yang aku tahu, koordinator aksi
menyangkal tudingan tersebut dan menyebutkan bahwa aksi ini murni kekecewaan
mahasiswa terhadap kebijakan tersebut.
Teks: Reiza Fariz Muztafa