Kembalikan Tentara ke Barak : Dwifungsi TNI Nyata, Represi di Mana-Mana

Gambar : AJIARCHIVE.PSD

Kliring.com - Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI)  resmi disahkan menjadi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menggantikan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah sebelumnya seruan “Kembalikan TNI ke Barak” dan “Tolak RUU TNI” menggema di mana-mana, sosial media bahkan perbincangan biasa, hal tersebut dilakukan untuk mengecam pengesahan RUU TNI.


UU TNI membuka ruang bagi anggota militer untuk duduk di jabatan sipil, hal ini melanggar TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 yang berisi : 

1. Pasal 5 ayat (1) : Kebijakan politik negara merupakan dasar kebijakan dan pelaksanaan tugas TNI.

2. Pasal 5 ayat (2) : TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

3. Pasal 5 ayat (3) : TNI mendukung tegaknya demokrasi, menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

4. Pasal 5 ayat (4) : Anggota TNI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan tahun 2009.

5. Pasal 5 ayat (5) : Anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Ketentaraan.


Berkaca pada kesalahan yang terjadi pada masa Orde Baru, hidupnya Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berarti mengkhianati reformasi yang telah diupayakan selama lebih dari 20 tahun. RUU TNI juga melanggar supremasi sipil, dimana merupakan tradisi demokrasi yang menekankan bahwa angkatan bersenjata suatu negara harus selalu di bawah kontrol sipil.


Prinsip supremasi sipil tertuang pada penjelasan pasal 2 huruf (d) Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia yang berbunyi  “Supremasi sipil adalah kekuasaan politik yang dimiliki atau melekat pada pemimpin negara yang dipilih rakyat melalui hasil pemilihan umum sesuai dengan asas demokrasi. Supremasi sipil dalam hubungannya dengan TNI berarti TNI harus tunduk pada setiap kebijakan dan keputusan politik yang ditetapkan Presiden melalui proses mekanisme ketatanegaraan” 


Lebih lanjut, pembahasan RUU TNI dalam penyusunannya mengalami cacat hukum karena pertama, prosesnya tidak sesuai dengan standar pembentukan RUU. RUU ini pada awalnya tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional, namun Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 membuat RUU ini menjadi terdaftar dalam Program Legislasi Nasional 2025 tanpa urgensi yang jelas. Ini bertentangan dengan prinsip perencanaan perundang-undangan  yang harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan sistematis. Namun dalam praktiknya, pembahasan RUU tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara diam-diam. Kedua, proses perumusan RUU tidak melibatkan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat, karena diadakan secara tertutup di luar gedung DPR RI. Proses perumusan RUU TNI ini berlangsung di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. Sedangkan pengesahan dari RUU menjadi UU dilakukan secara tertutup di dalam gedung DPR RI pada hari Kamis (20/03/2025). Selain itu Draft UU yang disahkan hingga tanggal (21/03/2025) belum juga dipublikasikan.


Lolosnya RUU ini menjadi Undang-Undang akan menggerogoti demokrasi secara masif. Alibi “keamanan” yang dipegang oleh militer akan menjadi tameng untuk membungkam kritik, seperti halnya yang sudah pernah terjadi pada masa Orde Baru. Selain itu, masuknya militer ke lembaga sipil akan semakin memperparah kondisi lapangan kerja, pasalnya para angkatan tenaga kerja berkompeten harus bersaing keras dengan militer yang telah mendapatkan “Jalan khusus” dan hal tersebut akan menghambat profesionalisme dan akuntabilitas lembaga itu sendiri.


Dikutip dari laman Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), meluasnya peran TNI di luar tugas pokoknya dalam pertahanan negara akan menghidupkan kembali  peran sosial politik ABRI melalui Dwifungsi yang merupakan ancaman bagi demokrasi dan profesionalisme TNI. Masuknya militer ke urusan diluar kewenangan seperti penanganan narkotika membuat TNI dapat terlibat dalam penegakan hukum yang bukan tupoksinya. Hal ini sangat beresiko, mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer TNI terhadap kewenangan tersebut. Jika terlibat tindak pidana umum, pelanggaran HAM, termasuk korupsi yang dilakukan anggota TNI akan diserahkan yurisdiksi ke pengadilan militer, padahal semestinya harus diadili melalui pengadilan umum. Hal ini  akan rentan terjebak dalam lingkaran bisnis gelap sebagaimana yang sudah pernah terjadi di kepolisian. Selain itu, masuknya militer aktif pada Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga akan menghancurkan independensi sistem peradilan Indonesia dan membuat satuan TNI semakin kebal hukum. 


Hal-hal ini menjadi landasan kuat bagi amarah rakyat, terlebih untuk korban trauma Orde Baru dan tragedi 98. Sebagai respons atas kebijakan ini, masyarakat menggelar aksi di berbagai daerah di Indonesia, aksi dilaksanakan serentak pada (20/03/2022). Dalam aksi serentak ini, massa aksi mendapat banyak sekali tindakan represif dari aparat. Salah satunya pemukulan massa pada aksi di Banjarmasin, Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Barat. Selain tindakan represif berupa penyerangan fisik, dikutip dari Instagram @gejayanmemanggil pada aksi di Jakarta, salah satu pendemo ditangkap dan diminta membayar uang sejumlah 12 juta sebagai tebusannya. Tindakan represif ini jelas mencederai demokrasi dan kebebasan berpendapat. 


Melalui apa yang telah terjadi, seperti kecacatan hukum dalam proses, berkaca pada sejarah, tindakan represif terhadap massa aksi, dan pelanggaran terhadap TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, seluruh elemen masyarakat bisa menilai betapa negara dan sistem yang telah dipertahankan selama lebih dari 20 tahun ini lenyap seketika. UU TNI harus dicabut dan kembalikan Tentara ke barak.


Penulis : Niken Kusumaning

Editor : Shela Ananta 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama