Yogyakarta, Kliring.com – Tahun 2024, menjadi tahun politik Indonesia di mana pesta demokrasi berlangsung melalui Pemilihan Umum. Berbagai isu politik menjadi perbincangan hangat di kalangan politikus dan mahasiswa. Mahasiswa sebagai agent of change memiliki peran krusial dalam menjaga nilai-nilai demokrasi dan aktif berpartisipasi dalam pergerakan sosial dan politik. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, partisipasi demokrasi mahasiswa menurun dan menghadapi tantangan seperti apatisme dan terbatasnya ruang diskusi.
Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Kliring, telah melaksanakan Launching Majalah Tahunan dan Diskusi Publik pada hari Sabtu, 26 Oktober 2024. Tema yang diangkat dalam kegiatan ini adalah “Menciptakan Lingkungan Berdemokrasi, Partisipasi Mahasiswa untuk Negara”. Acara ini diselenggarakan di Ruang MM-A, gedung Manajemen UPN Veteran Yogyakarta. Diskusi publik ini mendatangkan dua pembicara, yaitu Hartanto Ardi Saputra atau biasa dipanggil Rimba, seorang koordinator divisi organisasi Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Yogyakarta sebagai pemantik dan Lailatul Fadhilah, Koordinator Kemenko Pergerakan BEM KM UPN Veteran Yogyakarta, sebagai penanggap.
Dalam diskusi ini, Rimba menyoroti banyaknya teror dan ancaman yang dialami oleh beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Ruang demokrasi di kampus yang seharusnya bebas digunakan untuk berpendapat justru dibungkam oleh sejumlah pihak. Rimba, juga menjelaskan tantangan lain yang dialami mahasiswa dalam berdemokrasi, strategi meningkatkan demokrasi, dan indikator demokrasi yang baik. Mengambil dari indikator yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Adapun pendapat dari sudut pandang Lailatul, salah satu program kampus merdeka, yaitu program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) menjadi salah satu tantangan mahasiswa dalam menjalani demokrasi kehidupan di lingkungan universitas. Menurutnya, MSIB dapat membunuh karakter demokrasi mahasiswa yang secara tidak langsung memunculkan sikap apatis pada diri mereka. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa LPM tidak memiliki perlindungan hukum.
Dalam kegiatan yang dihadiri oleh kurang lebih 40 peserta, memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk menjadi bahan diskusi. Sania Rintis, mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta, mengungkapkan pendapatnya bahwa mahasiswa harus memiliki pemikiran kritis dan tidak apatis terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan Kampus. Rimba, menyetujui pernyataan Sania dengan menimpal bahwa, sebagai mahasiswa seharusnya tahu desas desus masalah di kampus sehingga dapat dibuat liputan yang mendalam dan menaikan kasusnya, dengan catatan sudah terverifikasi kebenarannya. Lailatul, menyatakan keheranan atas sulitnya akses informasi terhadap huru-hara yang terjadi di UPN “Veteran” Yogyakarta.
Adapun pertanyaan yang disampaikan oleh Niken, mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta, mengenai bagaimana cara mengembalikan kepercayaan mahasiswa untuk bebas berpendapat. Menurut Lailatul, mahasiswa harus menanamkan prinsip agar kritik yang dimilikinya tidak hanya disimpan tapi juga dapat disuarakan. Jika takut untuk menyuarakan, maka kritik tersebut dapat disampaikan secara kolektif atas nama organisasi atau perkumpulan.
Diskusi tetap berlanjut dengan pertanyaan dari Saskila Aurora, mahasiswi UPN Veteran Yogyakarta, yang menanyakan langkah yang dilakukan mahasiswa untuk membuka pemikiran masyarakat tentang isu-isu yang terjadi di Indonesia. Lalu disusul pertanyaan dari Hilmy, mengenai cara mengembalikan kekritisan mahasiswa di era krisis demokrasi ini. Hingga sesi diskusi ditutup dengan pernyataan dari Judith, mahasiswi UPN Veteran Yogyakarta, yang menyatakan bahwa mahasiswa menjadi apatis karena pada praktik kaderisasi di kampus itu sendiri hanya sebagai formalitas belaka, bahkan terjadi senioritas dan feodalisme.
Penulis: Saskila Aurora Dewinda
Editor: Riski Alyana
Posting Komentar