Rantai Masalah Pernikahan Anak

 

Pernikahan anak masih menjadi masalah yang sulit diuraikan. Terlebih, pandemi covid-19 yang terjadi selama kurun waktu dua tahun menjadi faktor meningkatnya angka perkawinan anak. Tak hanya itu, perkawinan anak juga disebabkan oleh faktor lain seperti budaya, Pendidikan,  dan ekonomi. Pada Halaqah Pararel II Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang diselenggarakan di Pondok Pesantren (PP) Hasyim ‘Asyari Jepara (25/11), Direktur Eksekutif Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) Sulawesi, Rosniaty Aziz mengungkapkan bahwa 41,78 persen laki-laki dan 47,90 persen perempuan rentang umur 20-24 tahun menikah pada usia di bawah 18 tahun. Sementara itu, perempuan yang melakukan perkawinan anak cenderung memiliki pendidikan yang lebih rendah.

“Perempuan yang telah melangsungkan perkawinan pada usia anak cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia dewasa,” ungkap Rosniaty.

Selain itu, pembicara dari perwakilan Yayasan BaKTI, Lusia Palulungan mengungkapkan bahwa Indonesia masih menempati posisi delapan untuk kasus pernikahan anak. Lebih lagi, sekitar 22 dari 34 provinsi memiliki angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Selain itu, menurut Lusia, tingginya angka pernikahan anak juga berimbas pada kerugian negara.

“Kerugian negara (akibat perkawinan anak) sekitar 1,7 persen dari Pendapatan Kotor Negara (PDB),” terang Lasia.

Kendati demikian, Pemerintah melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara resmi menyamakan umur pernikahan laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun. Hal ini tertuang pada pasal 7 ayat 1.

Namun, pada pasal 7 ayat 2 menyebutkan bahwa pasangan yang belum memenuhi batas umur yang ditentukan bisa mendapatkan dispensasi dari pengadilan dengan alasan mendesak. Lebih lagi, pada ayat 3 disebutkan bahwa pemberian dispensasi tersebut harus melibatkan kedua belah pihak.

Akan tetapi, salah satu perwakilan Kementerian Agama (Kemenag) Dedi Slamet menuturkan pengalamannya bahwa anak di bawah usia perkawinan yang mendaftarkan perkawinan ke Kemenag karena hamil seringkali dipaksakan untuk menikah. Ia juga menuturkan bahwa orang tua anak tak melibatkan persetujuan kedua belah pihak dengan alasan nama baik keluarga.

“Kedua orang tuanya saya panggil, saya tidak bisa menikahkan ini. Anak ini tidak mau menikah, dia masih mau belajar, masih banyak cita-cita yang ingin dia raih. Tapi, kedua orang tuanya sepakat untuk menikahkan. Cepat nikahkan saja kata orang tuanya,” tutur Dedi pada Halaqah Pararel II KUPI II (25/11).

Dedi juga mengungkapkan bahwa dalam hal ini, Kantor Urusan Agama (KUA) juga terbentur oleh regulasi. Menurutnya, KUA telah memberikan lobi-lobi kepada orang tua atau pun memberikan surat penolakan pembatalan nikah yang mana surat tersebut adalah salah satu syarat untuk mengajukan dispensasi kepada pengadilan. Dengan demikian, Dedi mengkalim KUA memiliki pilihan lain selain menikahkan pasangan tersebut.

“Akhirnya KUA memberikan surat penolakan pembatalan nikah yang menjadi syarat pengajuan ke pengadilan. Dua minggu kemudian, orang tua pasangan itu datang kembali ke KUA dan mendaftarkan pernikahan dengan membawa keputusan pengadilan tentang dispensasi usia nikah,” terang Dedi.

“Kalau dilihat dari Peraturan MA, perspektif anak sangat dipentingkan. Misalnya hakimnya harus hakim yang sudah memiliki kapasitas dan telah mengikuti pelatihan tentang psikologi anak,” jelas Dedi menambahkan.

Diketuhui, pengajuan dispensasi untuk perkawinan di bawah usia yang telah ditetapkan diatur pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 tahun 2019. Dalam Perma tersebut, surat dispensasi bisa didapatkan pada pengadilan agama dengan salah satu syarat surat penolakan dari KUA.

Di lain sisi, Dedi juga menyayangkan peran pengadilan agama yang dengan mudah meloloskan surat dispensasi tersebut. Terlebih, menurut Dedi, masih banyak hakim yang tidak mengikuti Pelatihan dan/atau Bimbingan Teknis tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum atau bersertifikat Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana tercantum pada pasal 20a. Menurutnya, hakim enggan untuk melakukan pelatihan lantaran pada pasal 20b mengungkapkan bahwa bila dalam pengadilan agama tidak ada hakim yang memenuhi spesifikasi tersebut, maka setiap hakim dapat mengadili perkara ini.

“tapi, ada satu pasal yang terakhir jika tidak ada (yang memenuhi syarat-red) semua hakim boleh mensidangkan. Jadi akhirnya ‘ya udah, nggak usah ikut pelatihan’. Jadi perlu dipertanyakan juga apakah Perma nomor 5 2019 sudah dipraktikkan secara benar,” imbuhnya.

Carut marutnya regulasi pencegahan pernikahan anak membuat rantai permasalahan pernikahan anak di Indonesia sulit diurai. 


Penulis : Solichah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama