Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang diselenggarakan pada 23-26 November 2022 di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang dan Pondok Persantren (PP) Hasyim ‘Asyari Jepara membawa isu lingkungan hingga intoleransi. Pada pra kongres KUPI II yang bertajuk Halaqah kebangsaan, KUPI menyinggung perihal problem intoleransi. Salah satu perwakilan Jaringan Gusdurian, Suraji mengungkapkan bahwa kondisi Indonesia saat ini sangat memperihatinkan. Sebab, banyak terjadi kasus intoleransi yang terjadi.
“Proses
nasionalisme yang berjalan di Indonesia banyak kelemahan. Kita juga mengecam
tindakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan,” terang
Suraji (24/11/22).
Terlebih,
Suraji juga mengungkapkan bahwa tokoh agama memiliki peran penting. Menurutnya,
tokoh agama seringkali dijadikan rujukan untuk mengatasi masalah.
“Masyarakat
masih menganggap bahwa kaum agamawan menjadi tempat mengadu, dan ulama
perempuan dekat dengan masyarakat akar rumput. Sehingga, masalah itu bisa
mereka suarakan untuk dicari jalan keluarnya. Dan yang terpenting, bagaimana
nilai agama bisa selaras dengan ideologi pancasila, demokrasi, dan
prinsip-prinsip hak asasi manusia,” jelas Suraji.
Suraji
juga berharap bahwa penyelenggaraan KUPI II ini bisa menguatkan prinsip
kesetaraan.
“Indonesia
terdiri dari ragam etnis, budaya, dan kultural. Kita posisinya setara. Oleh
karena itu, kita tidak ingin ke depan ada diskriminasi atau intoleransi antar
kelompok,’’ pungkasnya.
Selain itu, International Conference
yang digelar pada 23 November 2022 di UIN Walisongo Semarang juga membahas mengenai bahaya Kekerasan
Berbasis Gender (KBG). Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah
mengatakan bahwa fenomena yang terjadi adalah seperti gunung es. Selain itu,
menurut Alimatul, Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan mengungkapkan adanya
kenaikan jumlah laporan kepada Komnas Perempuan.
“Yang terdokumentasi sebenarnya ini
sifatnya gunung es. Data Komnas Perempuan (CATAHU-red) menunjukkan ada
peningkatan laporan. Data di sini menunjukkan 20an kasus. Artinya, sekitar 80an
kasus tidak terlaporkan,” ujar Alimatul.
Alimatul juga menambahkan bahwa dari
laporan yang ada, kasus kekerasan seksual menjadi kasus yang paling sering
dilaporkan, baik pada dunia publik maupun siber. Komnas perempuan juga
melaporkan bahwa peningkatan kasus yang terjadi pada kurun waktu 2020-2021
lebih tinggi dibanding ketika awal pandemi tahun 2019.
“Ada tiga bentuk kekerasan berbasis gender
baik dalam area publik, personal, maupun negara yang terdokumentasi Komnas
Perempuan sejak 2002. Lalu, GBV (Gender Based Violence-red) di area
komunitas itu kasus kekerasan seksual selalu menjadi dominan,” jelasnya.
Lebih lagi, Analisis Komnas Perempuan
mengungkapkan bahwa dari kasus yang terjadi, sekitar 9 persen pelaku kasus KBG
adalah orang yang dianggap menjadi panutan. Hal ini membuat relasi kuasa
seringkali menjadi faktor kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Relasi kuasa terlihat dengan jelas kalau
kita menganalisa antara hubungan pelaku dan korban. Dan sekitar 9 persen pelaku
adalah seharusnya orang yang menjadi panutan, yang menjadi contoh,” imbuh
Alimatul.
Terlebih, Alimatul mengungkapkan bahwa
masih ada tuduhan atas pakaian yang dikenakan korban kekerasan perempuan oleh
masyarakat. Hal ini yang membuat korban seringkali disalahkan.
“70 persen responden masih menghubungkan
korban dengan cara dia berpakaian, sehingga blaming the victim itu masih
terjadi,” ungkap Alimatul.
Sementaara itu, KUPI II yang diadakan
selama empat hari ini menghasilkan lima pandangan keagamaan seperti
mengharamkan Pemotongan/Pelukaan Genitalia terhadap Perempuan (P2GP),
mewajibkan menjaga negara dari bahaya ekstremisme, mengharamkan pembiaran
kerusakan lingkungan, mewajibkan perlindungan perempuan dari pemaksaan
perkawinan, hingga perlindungan perempuan dari bahaya kehamilan akibat
perkosaan.
Posting Komentar