Doc : Dhita Permata |
Menjadi rakyat yang tinggal di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menghadapi problema tersendiri. Berbeda dengan
daerah lainnya, di DIY tidak ada pemilihan Gubernur. Sesuai dengan tradisi dan
UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah Sultan Yogyakarta yang bertahta, sementara wakil
gubernur adalah Pangeran Paku Alam yang bertahta.
Dengan tidak adanya pemilihan
gubernur, demokrasi di DIY pun menjadi terancam. Sangat tidak dimungkinkan
aspirasi rakyat bisa tersalurkan. Maka dari itu, pers sebagai lembaga yang
independen diharapkan dapat menyuarakan kebenaran tanpa ada pengaruh dari
Gubernur yang sedang memerintah.
Tidak hanya itu, masalah pun
lahir dari rakyat itu sendiri. Rakyat di DIY masih kurang peka terhadap kondisi
di daerahnya sendiri. Banyak rakyat kecil malah lebih mengetahui apa yang
sedang terjadi di DKI Jakarta ketimbang di desanya sendiri. Maka dari itu perlu
adanya perjuangan literasi.
Secara umum literasi adalah
kemampuan melek huruf. Tapi perjuangan yang dimaksud dalam hal ini adalah
sebuah perjuangan agar rakyat tidak hanya bisa melek huruf, tetapi juga melek
media. Melek media adalah kemampuan seseorang untuk melihat kenyataan, yang
berarti bisa memiliki kepekaan terhadap daerahnya sendiri. Peran pers pun
menjadi penting agar rakyat bisa melek media, dengan menyampaikan berbagai
informasi yang cocok untuk diberitakan oleh kalangan umum, khususnya rakyat
kecil di DIY.
Banyak kritik yang tertuju pada
pers yang ada di DIY. Pers di DIY dinilai tidak mampu mewacanakan berita yang
ada di DIY dengan baik. Tidak ada analasis yang dibuat, sehingga banyak dari
kalangan umum tidak terlalu paham dengan peristiwa yang sedang terjadi. Padahal
sudah menjadi tugas utama dari pers untuk menggali lebih dalam
peristiwa-peristiwa yang ada di DIY.
Menjadi penting untuk
dipertanyakan, seberapa independen wartawan yang ada di DIY? jika dilihat dari
koran yang beredar, masih banyak yang memberitakan berita nasional, sangat
jarang membahas berita-berita yang ada di DIY, khusnya di desa-desa. Padahal
pers yang berkantor di DKI Jakarta, berani mengutarakan fenomena yang ada di
DIY. Maka dari itu, sangat disarankan pers-pers yang ada di DIY bisa lebih
berani dan dapat berkolaborasi, sehingga berita-berita penting yang sedang
terjadi bisa tersampaikan dengan baik.
Beralih ke pemerintahan gubernur
DIY. DIY menganut sistem feodal, yang berarti hanya kalangan bangsawan yang
dapat mengendalikan wilayah ini. Sekarang ini gubernur DIY dinilai menabrak
konstitusi. Sebagai contoh banyak tanah yang tadinya hak milik menjadi hak
pakai. Menurut hukum, hak rakyat atas tanah dijamin oleh UU No 5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria (UUPA) dan aturan pelaksanaannya, tidak terkecuali
di DIY. Pada kenyataanya, dengan hak keistemewaannya, gubernur dapat membuat
sebuah aturan, di mana kebanyakan aturan yang sudah dibuat tidak berpihak pada
rakyat dalam kepemilikan tanah.
Semenjak UU No 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan DIY (UUK) disahkan, telah terjadi perubahan yang mendasar
dalam hal penguasaan tanah di seluruh DIY. Melalui UUK, Kasultanan/Pakualaman
menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki tanah. Badan hukum ini bernama
Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta. Dalam praktiknya, penguasaan
tanah di DIY mengarah pada penetapan Kasultanan/Pakualaman sebagai pemilik
tunggal (monopoli) dari seluruh tanah di DIY. Upaya monopoli pemilikan tanah
itu dilakukan dengan cara menghidupkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun
1918 yang berbunyi: “Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing
liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun”, artinya,
“semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom (hak milik,
menurut UU Agraria 1870), maka tanah itu adalah milik kerajaanku”.
Terkait tata ruang, penguasaan
tanah di DIY diubah agar sesuai dengan kepentingan modal besar, yaitu
megraproyek MP3EI. Di mana-mana, megaproyek ini dipromosikan sebagai
pembangunan, meskipun hakikatnya adalah penjajahan ekonomi oleh sistem
kapitalisme. Di manapun, MP3EI telah menimbulkan konflik sosial dan merusak
lingkungan hidup, karena MP3EI menyasaratkan pengambilalihan ruang hidup rakyat
demi pertambangan, industri berat, jalan tol, bandara internasional atau
fasilitas jasa pertemuan, penginapan, dan wisata. MP3EI menyebut perputaran
modal di bidang jasa ini sebagai proyek MICE: Meeting, Incentive, Convention,
Exhibition (Yanuardy dkk, 2014). DIY adalah salah satu sasaran MICE,
lebih-lebih dengan merek barunya: Jogja Istimewa. [1]
Hal seperti ini lah yang
dikhawatirkan, banyak program dari gubernur yang tidak berpihak pada rakyat
kecil, melainkan hanya mementingkan megaproyek. Dan yang membuat lebih parah adalah
kaum intelektual, khususnya mahasiswa tidak sadar dengan fenomena yang sedang
terjadi ini. Padahal anak muda sebagai agen perubahan diharapakan dapat
memiliki pemikiran kritis dan berani mengungkapkan pendapat, sehingga aspirasi
dari rakyat pun bisa tersampaikan.
Mungkin untuk saat ini masih
belum berdampak besar, tapi untuk kedepanya bukan tidak mungkin kolaborasi dari
feodal dan kapitalisme yang ada di DIY akan sangat meresahkan rakyat kecil.
Maka dari itu, perjuangan literasi menjadi sangat penting untuk saat ini, demi
terciptanya kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia
yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke empat.
[1]
http://selamatkanbumi.com/id/darurat-agraria-yogyakarta-tinjauan-hukum-atas-situasi-terkini/
Teks oleh Advent