Defisit Anggaran Dalam Pembangunan Infrastruktur

           Sejak menjabat sebagai presiden Indonesia pada Oktober 2014 lalu, presiden Joko Widodo diwarisi kondisi APBN (Anggaran Pengalokasian Belanja Negara) dalam keadaan sakit. Kondisi APBN tersebut ditandai dengan terjadinya penyempitan ruang fiskal dan serapan anggaran yang rendah. Padahal di satu sisi, pemerintah saat ini sedang gencar – gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur baik secara fisik maupun non fisik.
                Bersama dengan pakar dan doktor – doktor pribadinya, presiden Jokowi mendiagnosa, bahwa penyempitan ruang fiskal pada APBN dikarenakan pemberian subsidi besar – besaran pada barang – barang administrid price, yaitu subsidi pada BBM (bahan bakar minyak ) dan TDL (tarif dasar listrik) oleh pemerintahan sebelumnya. Bagi Jokowi beserta dengan pakar dan doktor – doktor pribadinya, pemberian subsidi justru malah menghambat pembangunan infrastruktur dan tidak sama sekali mengedukasi pola pikir rakyat.
                Demi melancarkan ambisinya membangun infrastruktur, dengan gagah berani dan percaya diri, Jokowi pada tanggal 18 November 2014 silam, mengumumkan pencabutan subsudi BBM dan menyerahkan mekanisme harganya pada keseimbangan pasar. Akibat yang terjadi cukup fantastis, yaitu pemerintah memeroleh dana segar sebesar Rp 200 triliun dari pencabutan subsidi BBM ini. Dan sebagai ganti dari pencabutan subsidi ini, Jokowi mengalokasi dana segar tersebut untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan baru.

sumber gambar : google

Defisit Keseimbangan Primer
            Mungkin presiden Jokowi dengan para doktor – doktornya alpha, bahwa penyempitan ruang fiskal dalam APBN Indonesia selama ini karena serapan anggaran yang rendah, peningkatan belanja pemerintah, dan lonjakan pembayaran utang yang sudah memasuki waktu jatuh tempo. Keseimbangan primer adalah selisih antara pendapatan negara dikurangi dengan jumlah pembayaran utang tanpa memerhitungkan bunga yang harus dibayarkan. Bila neraca tersebut defisit, maka sesungguhnya pemerintah telah membayar bunga utang dengan utang baru, ditengah ketidakmampuan pemerintah dalam memaksimalkan pendapatannya dalam menutupi belanja.
            Sejak tahun 2012, APBN telah terus mengalami defisit anggaran yang akan terus berlanjut hingga tahun 2017. Pada tahun 2012 besar defisit anggaran mencapai Rp 52,7 triliun, dan meningkat di tahun 2013 menjadi Rp 98,6 triliun. Pada tahun 2014 terjadi sedikit penurunan defisit anggaran menjadi Rp 93,6 triliun. Pada masa awal Jokowi menjabat sebagai presiden, defisit anggaran melonjak cukup tajam, sebesar Rp 142,4 triliun, dan cukup menurun meskipun tidak signifikan di tahun 2016 sebesar Rp 105,5 triliun. Proyeksi defisit anggran pada tahun 2017 meningkat sebesar Rp 5,9 triliun ke angka Rp 114,4 tiliun.
            Pencabutan subsidi BBM sebesar Rp 200 triliun (yang merupakan dana segar bagi pemerintahan Jokowi) seharusnya dapat menutup defisit anggaran pada tahun 2014 yaitu sebesar Rp 93,6 triliun atau bahkan dapat menutup defisit yang terjadi di tahun 2015 yaitu sebesar Rp 142,4 triliun. Namun agaknya, presiden Jokowi enggan untuk mengalihkan sebagian dana segar ini bagi penutupan defisit anggaran. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin gencarnya pembangunan infrastruktur pada tahun 2015 hingga saat ini. Akibat yang selanjutnya timbul adalah ketidakmampuan pemerintah dalam membayar bunga utang, dan justru malah menambah jumlah utang baru bagi rencana belanja infrastruktur ini.
            Pada tahun 2017, pemerintah dalam APBN menyusun proyeksi belanja sebesar Rp 2.070,5 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.310,4 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp 760 triliun. Dana sebesar Rp 500 triliun diproyeksikan bagi pembayaran cicilan utang pokok dan sebagian bunganya. Belanja infrastruktur sendiri di tahun 2017 diproyeksikan menjapai Rp 387,3 triliun, meningkat sebesar Rp 70,2 triliun dari tahun 2016 yang sebesar Rp 317,1 triliun.
            Namun agaknya pemerintah perlu berpikir ulang terhadap rencana yang telah dibuatnya bersam dengan DPR (meskipun telah disetujui DPR), mengingat di tahun 2017 pendapatan pemerintah dari sektor pajak hanya mencapai Rp 1.495,9 triliun dan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) yang hanya sebesar Rp 240,4 triliun. Hal ini menyiratkan bahwa terjadi defisit sebesar Rp 332,9 triliun, yang selanjutnya akan ditutup dengan kembali mengajukan utang luar negeri dan menerbitkan SPN (surat perbendaharaan negara).
            Dengan kondisi tersebut, pemerintah hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meningkatkan jumlah penerimaan negara, atau memangkas biaya dan belanja. Namun agaknya pemerintah belum bisa cukup optimal untuk meningkatkan penerimaan negara pada saat ini. Pemerintah sendiri pada tahun 2017 memerkirakan penerimaan negara akan lebih rendah dari tahun sebelumnya, mengingat situasi dalam negeri yang tidak terlalu mendukung. Hal tersebut ditandai dengan rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap PDB (produk domestik bruto) yang hanya berada pada angka 10 sampai dengan 11 persen, yang berarti kondisi tersebut tidak acceptable untuk meningkatkan penerimaan pajak.
            Dalam hal penerimaan pajak sendiri, program tax amnesty yang dicanangkan pemerintah sepertinya semakin seret. Hal tersebut ditandai dengan sedikitnya jumlah WP (wajib pajak ) yang membayar pajak. Dari 22 juta orang WP tercatat hanya 8.412 orang WP yang melakukan pembayaran pajak dan mengikuti program tax amnesty. Disamping itu nilai dari ROA (return on asset ) dari pajak yang hanya 5 persen menyebabkan Rp 200 triliun aset yang masuk dari total Rp 4000 triliun aset yang ikut amnesti pajak tidak mampu mendongkrak sektor pajak bagi penerimaan negara.
            Hal yang selanjutnya timbul adalah semakin membengkaknya defisit anggaran pada pos APBN 2017, yang memaksa pemerintah kembali mengajukan jumlah utang baru dan menjual  SPN. Dari sisi penjualan SPN sendiri, pemerintah mematok pendapatan sebesar Rp 358,22 triliun pada tahun 2017 yang rencananya akan digunakan sebagai pendanaan awal (front leading) pada periode Januari hingga Juli 2017 dengan menjaminkan (underlying asset ) 10 ribu aset lembaga pemerintah. Bahkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pada awal Januari 2017, pemerintah akan mengajukan utang kembali sebesar Rp 43,6 triliun dengan menerbitkan surat utang syairiah (sukuk).
            Akibat dari serangkaian tindakan pemerintah tersebut, adalah semakin tidak optimalnya peneribitan SPN yang ditandai dengan semakin memburuknya APBN dan kondisi fiskal yang tidak mampu dikelola oleh pemerintah. Sejumlah lembaga rating internasional seperti Standard & Poor’s, Moody’s dan Fitch menyoroti buruknya kondisi fiskal, kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang tengah membelit perbankan di Indonesia, serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah, yang memicu kenaikan risiko investasi (CDS/Credit Default Swap) Indonesia. CDS dengan tenor waktu lima tahun yang baru di tutup pada 11 November 2016 kemarin diketahui melonjak 1.756 basis poin dari posisi 161,3 ke level 178,86. Indeks obligasi pemerintah juga turun sebesar 1,12% menjadi 206.897 dari penutupan sehari sebelumnya. Indeks obligasi koorporasipun ikut terkoreksi sebesar 0,15% ke level 221,795.
            Dari seluruh kenyataan dan akibat yang ditimbulkan diatas, masih relevankan pembangunan infrastruktur di tengah kondisi memburuknya kondisi fiskal APBN?. Sudah selayaknya, presiden Joko Widodo kembali mengkoreksi kebijakan jangka panjangnya dengan memperhatikan kondisi jangka pendek beserta implikasi – implikasi yang akan timbul.

teks: Abdul Razak

Referensi:
www.indoprogress.or.id

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama