Cerpen: Di Ujung Keranda

Malam Sandiwara I

Desas desus dimulai, suara memecah malam, seorang wanita berlari takut, mencekik leher sekali suaranya.
“Tolong–tolong, ada hantu ingin menikam jabang bayi di perut buntingku.“
Kekehan ketakutan suaranya memecah malam seram kala itu. Di sudut keranda aku seakan takut mendengarnya.
Tak ada yang sadar, maut mulai merangkak keluar dari persembunyiannya. Ia keluar dengan berani menikam wanita–wanita bunting. Mencekik pendosa yang siang keliling, malamnya maling.

Di sudut ruang, wanita ketakutan itu meringkuk takut, memegang perut buntingnya. Ruang gelapku bagaikan tempat aman baginya, meskipun aku sendiri ketakutan di tempat ini.
Ruang gelap pencekik nyawa ini, seakan meminta tumbal dariku. Namun, aku tak kenal wanita ini. Baginya, bersembunyi di balik keranda ini, mungkin tempat aman. Tak sadar, bahaya mengincarnya. Termasuk aku.
Kudengar lirih suaranya, sambil berkata,
“Kau tak bisa rebut aku, tak bisa rebut bayiku. Aku manusia, kau setan, derajatku tinggi daripada engkau. Pergilah. Pergilah. Pergilah. Aku tak punya salah padamu.

Kain kafan, blebetan keranda yang menggantung di situ, tak tahu harus bicara apa pada wanita itu. Keadaan bisu, membisu sunyi seperti hilang ruhnya.
Pohon–pohon di makam mulai diam walaupun angin berhembus.
Ramai, kata yang sulit diucapkan malam itu.

Di sampingnya, aku sadar.
Wanita takut itu terbujur kaku, namun masih hidup. Perutnya sobek tiba–tiba.
Suaranya keras kemudian, hampir–hampir histeris.
“Tolong–tolong, perutku robek. Ada binatang keluar dari perutku.

Sandiwara hampir usai.
Penonton diam seribu bahasa, tangan tersilang di dada.
Terdengar satu suara.
“Malam sandiwara bandit pertama kali ketika di ujung keranda, hampir usai, tapi belum berakhir.”

Malam Sandiwara II

Layang–layang terdampar di atas keranda.
Mungkin langkahnya lemas ketika sudah lama terbang, namun mungkin putus di tangan.
Aku lihat dari situ, layang–layang itu lusuh, seperti lelah terbang,
Namun, mendarat di tempat yang salah. Tempat orang mati.

Hujan turun, keranda itu terciprat airnya.
Jelmaan hujan memecah suasana petang, dingin airnya, menusuk tanpa ragu.
Lagu hujan, menjelma derau, memecah petang di makam dan keranda.
Tak sadar, tiada lagi wanita bunting lewat, berlari sambil ketakutan. Hanya ada aku.

Aku, seorang laki–laki lusuh; tanpa sehelai baju dan sepotong daun pisang mati.
Berjalan perlahan memecah petang dengan guyuran hujan, becek, kotor sekali jalan menuju keranda makam itu.
Bunga semboja menyambutku.
Aku datang dengan rintik hujan membawa kabar dan senyuman malam.

Lampu makam mendadak mati.
Satu kata terlontar dari mulutku: “Aku antar karangan bunga ini, kepada keranda kosongmu, agar jangan lagi ada engkau–engkau berikutnya, yang mati dimakan setan malam Jumat Kliwon.

Sandiwara usai,
Suara penonton yang sama muncul lagi.
“Sandiwara selesai. Bandit menang. Ia tampil bagus sekali, kadang takut, kadang merasa iba. Tapi entah, itu memang sandiwara, atau akal sehatnya mulai pulih. Semoga saja, bandit insyaf.”

Teks Oleh        : Abdul Razak

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama