Yogyakarta, Kliring.com - Banner bertuliskan ‘RIP Ruang Aman Kampus’ terpampang di hadapan jajaran birokrasi kampus pada audiensi yang dilaksanakan Kamis (17/04/2025) menjadi bukti kemarahan mahasiswa atas hilangnya ruang aman di kampus. Pada audiensi kemarin, salah seorang mahasiswa FISIP, Beni Tarigan, mengungkapkan bahwa kejadian pada (27/02) lalu menjadi bukti bobroknya Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta (Satgas PPKS UPNVY) karena telah gagal menciptakan ruang aman dan nyaman di kampus.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021, Satgas PPKS UPNVY tidak memenuhi, bahkan melanggar aturan-aturan di dalamnya. Pada Bab 2 peraturan tersebut dijelaskan bahwa terdapat sepuluh butir minimalnya yang harus dilakukan oleh Satgas PPKS untuk penguatan tata kelola internal.
Namun, apa yang terjadi pada Satgas PPKS UPNVY?
Berdasarkan informasi, masa aktif satgas PPKS UPNVY hingga (23/11/2024). Mengacu pada Permendikbudristek, tiga bulan sebelum masa periode Satgas PPKS berakhir, satgas baru seharusnya sudah dibentuk. Namun, lagi-lagi kita menyaksikan kegagalan dari Satgas PPKS UPNVY—termasuk pimpinan rektorat—dalam menciptakan ruang yang aman dan nyaman.
Terkait dengan Pasal 24 Satgas PPKS tentang panitia seleksi, Beni Tarigan mengaku telah melakukan riset mengenai jumlah anggota satgas. “Selanjutnya, terkait dengan Satgas PPKS Pasal 24 tentang panitia seleksi, saya sudah cukup riset berapa (jumlah) orang yang menjadi satgas, ternyata cuma dua orang. Sedangkan di permendikbud itu ada minimal-minimalnya, jadi tujuh orang. Satu ketua, satu sekretaris, yang dua-duanya merangkap anggota dengan lima anggota, dengan minimal 50 persen keterlibatan perempuan. Namun apa? Ternyata isinya hanya dua orang, gimana ga ironi kita melihatnya PPKS bahwasanya Satgas PPKS ini tidak sesuai dengan peraturan permendikbud.”
Pelanggaran terhadap Permendikbudristek ini jelas saja memiliki konsekuensi. Beni Tarigan kembali memaparkan, pada Bab 3 Pasal 19, dikatakan bahwa perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana, atau penurunan tingkat akreditasi untuk PTN. Kemudian sanksi bagi pimpinan rektorat dijelaskan dalam pasal 8 terkait pemantauan dan evaluasi. Pasal 55 menyebutkan bahwa pemimpin Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 54, yang berisi tentang evaluasi, akan dikenai sanksi administrasi berupa teguran tertulis atau pemberhentian dari jabatan.
Terakhir, ia juga menyampaikan tuntutannya kepada pihak birokrasi. “Transparansi, akuntabilitas itu sangat diperlukan, disampaikan ke publik agar tekanan publik tidak semakin meninggi, meningkat, itu perlu diperhatikan juga. Saya nggak bertanya, saya menuntut, Fisip menuntut untuk penyelesaian dari satgas ppks dan segala unsur yang menyangkut ruang aman nyaman termasuk SKK diselesaikan dalam waktu 7 hari.” Wakil Rektor 3 (Warek 3) memberi tanggapan dan jawaban terkait hal ini. Ia menyatakan bahwa sudah ada surat rektor untuk perpanjangan, beliau berjanji dalam waktu dua minggu dari tanggal audiensi, satgas PPKS yang baru sudah terbentuk, dan akan melibatkan mahasiswa dalam prosesnya, serta meminta mahasiswa untuk sama-sama mengawal dan mematuhi peraturan.
Pembahasan mengenai kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus terus berlanjut. Salah satu mahasiswa dari Fakultas Pertanian menyampaikan keresahannya terkait dosen yang diduga melakukan kekerasan seksual, namun masih tetap mengajar di kampus. “Saya pernah mendengar dari teman di salah satu jurusan di UPN, yang dosennya terkena kasus KS. Surat keputusan sudah diberikan, diedarkan, dan katanya diberhentikan mengajar di S1. Tapi sekarang apa? ‘Si c–’ itu masih dipelihara di UPN. Kita selalu mengacu pada UGM sebagai kampus yang lebih besar di jogja, lebih oke secara sistematika, dan semacamnya. Bapak jangan lupa, UGM berani memberhentikan guru besarnya karena KS. UPN berani tidak?” Mahasiswa tersebut juga mempertanyakan batas waktu penyelesaian dari berbagai permasalahan yang menyangkut ruang aman dan perlindungan mahasiswa.
Sayangnya, Warek 3 hanya memberikan jawaban singkat karena merasa persoalan tersebut sudah terwakili dalam pembahasan mengenai Satgas PPKS sebelumnya. “Penyelesaian Satgas tadi sudah terjawab. Jadi itu yang bisa kami sampaikan. Saya menjawab tidak bertele-tele tapi taktis. Semua itu akan kami lakukan dan kita kawal bersama.”
Merasa jawaban tersebut belum menyelesaikan pokok permasalahan, mahasiswa dari FISIP kembali menekankan bahwa masalah tidak hanya terletak pada pembentukan Satgas PPKS, tetapi juga pada pelanggaran aturan dan lemahnya evaluasi. “Terima kasih jawabannya atas 2 minggu pembentukan Satgas PPKS, cuman poinnya lebih dari itu. Terus bagaimana dengan kesalahan-kesalahan, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan? Satgas PPKS anggotanya nggak penuh. Selanjutnya, laporan evaluasi nggak ada. Harusnya kalau laporan evaluasi nggak ada, rektor itu kena teguran tertulis atau turun, Pak. Pemberhentian dari dari jabatan bagi pemimpin PT, gagal soalnya. kegagalan-kegagalan itu gimana? mau diputihin? nggak bisa, nggak bisa diputihin. Pelanggaran terhadap peraturan kementerian.”
Menanggapi itu, Warek 3 menyatakan akan menindaklanjuti laporan yang dimaksud. “Kasus sebelumnya, itu laporkan pasti ada, nanti setelah ini saya akan minta laporan yang kemarin mana, nanti saya akan minta lagi untuk dari satgas yang kemarin kan maksud kamu. itu laporannya mana dari pelanggaran-pelanggaran. intinya dari audiensi ini itu ada perbaikan ke depan sehingga lebih bagus lagi.” Moderator audiensi, Nopal, kemudian mengarahkan ulang fokus diskusi kepada substansi tuntutan mahasiswa. “Mungkin pertegas lagi, pak, bahwa pelaku-pelaku KS kan udah dari dulu, tapi belum ada penjelasan. Mungkin contohnya, ada yang mengajar di S2 dan disanksi tidak mengajar di S1. Diperjelas lagi pelakunya, sanksinya itu gimana karena di S2 kan nanti bisa lagi kan, dan di S1 dia memang sudah tidak mengajar, tapi korbannya itu diperjelas lagi pak sampai batas mana tindak lanjut dari birokrasi? Terkait pelakunya, Pak. Karena untuk tuntutan yang lebih jelas saja seperti kasus UGM yang diberhentikan, selesai disana. Tapi ketika ini S2, masih dipelihara dan juga masih mengajar disini. Kami memahami bahwa pihak birokrasi memelihara perilaku KS. Itu yang mungkin bisa diperjelas lagi, Pak.”
Tuntutan dan pertanyaan ini pada akhirnya dilimpahkan ke Wakil Rektor 2 (Warek 2) karena Warek 3 merasa pertanyaan ini bukan bidangnya. “Oke, jadi karena itu kan di bidang Pak Warek 2, ya. Jadi maksud saya, menjawab yang lebih detail itu di bidang saya.” Namun, sampai akhir diskusi, pertanyaan terkait penanganan pelaku kekerasan seksual masih belum mendapat jawaban yang memuaskan. Moderator kembali menekankan pertanyaan tersebut agar dijawab secara jelas. “Jadi tadi mungkin ada pertanyaan yang belum dijawab dari bidang 1,2,3. pertama tadi tentang pelaku KS, mungkin bisa dijelaskan sanksi dan bagaimana penindak lanjutannya untuk pelaku dan korban?”
Warek 2 menjelaskan bahwa sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah larangan mengajar di program S1 selama dua tahun, dengan ketentuan tahun kedua baru bisa mengajar kembali setelah melakukan konseling. “Yang bersangkutan mendapatkan sanksi dua tahun tidak boleh mengajar di S1, syaratnya tahun kedua kalau kalau sudah selesai yang bersangkutan harus melakukan konseling. Nanti ada buku-buku konseling ke dokter baru diajukan untuk ke UPN. Sesuai dengan itu ya, artinya sanksi itu keluar dulu sebelum saya ada disini, dan saya harus menghormati sanksi yang sudah diterapkan itu.”
Ketika dikonfirmasi ulang, Warek 2 menegaskan bahwa tidak ada pemecatan. “Tidak, kalau sanksinya yang sudah jatuh itu tidak ada pemecatan. Artinya, disanksi sesuai pelanggarannya yang bersangkutan mendapatkan sanksi tidak boleh mengajar. Pertama kan diturunkan dari jabatan ketua jurusan? Sudah, tidak boleh mengajar di S1? Sudah. Kenapa ke kampus? Ya karena mengajar di S2.” Pernyataan ini kembali memicu ketidakpuasan dari mahasiswa. “Mungkin diperjelas saja bapak karena pelaku KS ya tetap pelaku KS. Jika memang begitu, kami dari teman-teman KM UPN tidak puas dengan sanksi tersebut. Karena pelaku dan korban kami merasa disini belum mendapatkan hal yang setimpal dari perbuatannya, dan korbannya belum mendapatkan hal hak-hak yang memang dia butuhkan.”
Warek 2 menanggapi bahwa keputusan tersebut bisa disanggah dalam waktu tertentu, namun tidak ada keberatan yang diajukan pada saat itu. “Sebenarnya itu kan diputuskan. Ketika itu diputuskan, ada waktu 10 hari atau seminggu untuk mengajukan keberatan kedua pihak. Yang mendapat sanksi boleh melakukan keberatan, saya nggak salah nggak melakukan itu, boleh, melakukan sanggah. Yang korban juga nggak puas boleh melakukan sanggah. Tapi, waktunya hanya seminggu kalau ga salah. Ya, setelah itu nggak ada sanggah, ya berarti menerima semuanya, kan gitu lho. Kalau sudah menerima semuanya, ya kita kawal, kita jalani sanksi yang sudah ditetapkan. Kan kita ga boleh kembali untuk menganulir itu lagi.”
Menutup dialog ini, moderator memberi kesimpulan atas jawaban dari pertanyaan. “Oke berarti untuk pelaku KS tadi S1 di tahun satu dan duanya belum boleh mengajar (di-stop), di tahun ketiganya boleh selama menunjukan buku sudah melakukan konseling.”
Audiensi pada poin Kekerasan Seksual di lingkungan kampus ini tidak memberi kepuasan pada Mahasiswa, karena jawaban-jawaban yang diberikan menggantung, terkesan “main aman” dan cenderung melindungi pelaku kekerasan seksual.
Penulis : Niken Kusumaning
Transkrip : Niken Kusumaning dan Shela Ananta
Editor : Afni Nur dan Luna Azizah
Posting Komentar