Kabar dari Surga

 


Langit belum habis ditelan petang, tetapi dua insan telah hanyut dalam percakapan tabu yang hanya pantas dibicarakan saat dini hari. Sudah beberapa bulan ini mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Entah dengan bermain catur atau sekadar bercengkerama biasa—tanpa keripik dan kacang rebus.

Roes memanyunkan bibirnya, pandangannya jenuh menatap jalanan sepi dari teras depan rumah. “Jika pandemi ini sudah berakhir, aku mau main banyak-banyak!” keluhnya sembari menyandarkan punggung ke kursi. Pria tua di kursi seberang memilih diam dan dengan santai ia menyeruput kopi hitamnya. “Ini salah umat manusia!” tambah anak lelaki yang akan beranjak dewasa itu.

“Kenapa begitu, Roes?” Tuduhan Roes menggelitik teman bersantainya untuk angkat suara.

Roes sontak menoleh ke arah pria tua di seberang. Matanya membulat menatap pria itu lekat-lekat. “Manusia terlalu jahat. Tuhan marah, Kek! Ini azab! Tentara Tuhan datang untuk menyadarkan manusia!” Ada antusiasme pada setiap kata yang terucap di ujung lidahnya. Sejujurnya, hati kecil Roes sendiri kurang mengerti apa yang barusan ia katakan, tetapi setidaknya begitu yang Roes dengar dari media dan gosip teman-temannya selama sekolah daring.

 Kakek terkekeh pelan mendengar pernyataan milik cucunya. “Kok tahu, Le? Kamu sudah dibisikin langsung sama Tuhan, ya?” canda kakek ringan. Roes hanya tertawa kecil mendengarnya.

Kakek kembali menyeruput  kopi hitamnya dan menyesap pelan untuk menikmati cita rasa pahit yang khas. “Roesman, cucuku paling bungsu. Aku ini bukan tangan kanan Tuhan, apalagi orang dalem tanah surga. Jadi bukan bagianku untuk tahu apa sebenarnya rencana-Nya, ‘pun bukan hakku untuk menghakimi hamba-Nya yang lainnya,” setelah bersua dengan beberapa jeda panjang, kakek melanjutkan, “kematianku sendiri saja masih kugadang-gadang. Bagaimana bisa aku mengatasnamakan ini azab sebab kelakuan manusia lain?”

Kakek mengembuskan nafasnya pelan, sedang matanya menerawang ke dedaunan gugur di pekarangan rumah. "Mengapa harus menuding bahwa ini petaka, bila ternyata Tuhan hanya ingin merehatkan sejenak bumi seisinya? Layaknya jagat raya yang punya dua sisi—langit dan bumi, mengapa tidak berpijak pada sisi baiknya saja? Daripada sibuk menyalurkan energi negatif untuk berspekulasi yang tidak-tidak. Yakinkah ini azab sedang Tuhan adalah Seorang Pemaaf?"

“Eh?” Roes bergumam malu sendiri. Ia menjadi tak yakin dengan apa yang telah ia ucapkan.

"Roes, kamu tahu apa yang lebih besar dari azab?" Roes menggeleng, yang ia tahu pasti, kakeknya akan mengatakan hal besar selepas ini. "Penerimaan, Roes. Ada yang dulunya mengeluh pada aktivitas harian yang dijalaninya, sekarang menjadi lebih menghargai kegiatan yang ia punya. Lainnya sibuk mencari kebahagiaan sana-sini sampai melupa pada orang-orang terdekatnya, kini mau meluangkan waktu untuk keluarganya. Mereka yang tak pernah akur dengan dirinya sendiri, sekarang diberi kesempatan untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri.”

Roes terhenyak cukup lama. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali ia bisa bercengkerama santai seperti ini bersama dengan kakeknya karena sebelum pandemi ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Matanya berkontak dengan milik sang Kakek, yang dibalas dengan senyuman tulus dari pria paruh baya itu. Tak lama setelahnya, air mata tanpa sungkan turun menyusuri pipinya. Tentu saja Roes malu, ia sudah duduk di sekolah menengah pertama saat ini. Ia sudah besar! Setidaknya, begitu baginya.

Namun, Roes tak peduli. Tubuhnya berdiri dari kursi dan langsung memeluk kakek di sebelahnya. Dengan hangat sang Kakek membalas pelukan cucunya. Senyuman terukir semakin lebar di sudut bibir pria tua itu. Ia mengusap rambut Roes dengan sayang.

"Kek? Kata siapa Kakek bukan orang dalem tanah surga? Senin depan, akan kusampaikan kabar dari Surga ini pada teman-temanku,"

"Kabar dari Surga?"

"Iya, karena di Surga hanya ada kebaikan. Begitu juga di hati Kakek.”   (Nur Syifa)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama