Arti Penting Rupiah, Dahulu, Sekarang, dan Nanti


Artikel ini ditulis oleh 
Abdul Razak 
Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan FEB UPNYK

Pelemahan rupiah yang terjadi sejak awal tahun 2018 membuat kekhawatiran banyak pihak meningkat. Hal tersebut sangat berasalan sebab posisi rupiah setiap harinya kian terpuruk dan cenderung tidak berdaya melawan kedigdayaan dollar AS yang merupakan salah satu instrumen perekonomian dunia. Pasca krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998 kemudian kembali terulang di tahun 2008, kekhawatiran akan bayang-bayang krisis perekonomian melanda Indonesia kembali terjadi di samping menaiknya tensi politik jelang pemilihan presiden/ wakil presiden dan legislatif.

Pada tulisan ini, secara lebih jauh akan membahas seberapa penting arti mata uang rupiah bagi perekonomian bangsa dan negara, atau yang oleh Telesia Aulia, Ekonom Universitas Indonesia, disebut sebagai makna filosofis dari mata uang rupiah. Ulasan mengenai pelemahan nilai tukar rupiah dari sisi internal dan eksternal telah berulang kali dibahas. Namun lewat tulisan singkat ini, saya akan coba menguraikan sedikit mengenai makna rupiah tersebut.

Konsep Nilai Tukar

Dalam ranah konseptual, nilai tukar dibentuk dari demand dan supply dalam pertukaran barang/jasa sebagai underlying asset. Tiongkok pada posisi necara perdagangan Indonesia memiliki posisi nilai perdagangan terbesar, yaitu sebesar 15% meskipun dari sisi trend menurun. Demikian pula dengan Uni Eropa dengan nilai perdagangan sebesar 11,45 % dan Jepang sebesar 10,47%, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya 10,18%. Dari data tersebut, artinya fluktuasi mata uang rupiah seharusnya melihat nilai mata uang mitra-mitra dagangnya sebagai tolok ukurnya. Namun faktanya, meskipun memiliki nilai perdagangan yang lebih rendah dari negara-negara mitra dagang lainnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih menjadi rujukan bagi sebagian masyarakat untuk melihat kondisi ekonomi negaranya.

Namun, nilai tukar yang melihat volume transaksi perdagangan dengan suatu negara mitra, yang selanjutnya disebut dengan nilai tukar bilateral terasa belum cukup efisien untuk menerjemahkan kondisi ekonomi yang sesungguhnya dari sisi kedigdayaan mata uang. Nilai tukar bilateral adalah nilai mata uang yang melibatkan pasangan mata uang negara mitra sebagai tolok ukur mata uangnya. Artinya, jika tetap menggunakan konsep nilai tukar bilateral, maka jika terdapat 10 negara utama mitra dagang, maka otoritas moneter dan pemerintah harus memantau secara ketat 10 mata uang mitra dagang utama tersebut. Maka dari hal tersebut, inefisiensi menggunakan nilai tukar bilateral kemudian muncul.

Foto: Ibrahim Rifath/Unsplash.com


Selanjutnya, untuk melihat keadaan secara lebih komprehensif, maka tolok ukur yang perlu digunakan adalah konsep nilai tukar efektif. Secara sederhana, nilai tukar efektif adalah bobot rata-rata tertimbang atas sekelompok mata uang tertentu. Bobot tertimbang secara implisit menyiratkan volume perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara mitra dagangnya. Selanjutnya, nilai tukar efektif terbagi dalam dua jalur. Pertama adalah nilai tukar efektif nominal (nominal effective exchange rate, NEER) yang merupakan daya saing fundamen ekonomi domestik terhadap ekonomi luar negeri. Namun kelemahan dari konsep NEER adalah, jika terjadi inflasi yang cukup tinggi di suatu negara, maka inflasi yang sama akan berimbas pula kepada negara mitra dagangnya. Kedua adalah nilai tukar efektif riil (real effective exchange rate, REER), yang melihat Indeks Harga Konsumen (IHK) di masing-masing negara mitra dagangnya. REER ini merupakan representasi dari fundamen ekonomi suatu negara, yang mana di Indonesia ditentukan dari besaran IHK yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS). IHK secara langsung menyiratkan informasi besaran inflasi, yang pada akhirnya mengukur kemrosotan daya beli masyarakat. Konsep REER inilah yang secara ideal harus dilihat oleh masyarakat umum untuk menentukan apakah apresiasi atau depresiasi dollar AS terhadap rupiah dalam kondisi mengkhawatirkan atau tidak. Jika melihat konsep REER ini, sejatinya dollar AS hanyalah salah satu, dan bukan satu-satunya komponen pembentuk REER.

Sejatinya REER merupakan salah satu indikator yang menyiratkan apakah kondisi ekspor suatu negara terhadap negara lain berdasarkan volatilitas perdagangan antar negara dalam kondisi kuat atau tidak. Artinya ketika terjadi kenaikan REER maka dapat dikatakan bahwa nilai ekspor suatu negara menurun. Hal yang sama berlaku untuk kebalikannya. Ketika nilai REER turun berarti nilai ekspor suatu negara naik. Berdasarkan data BPS dan didukung oleh data BI, secara aggregat nilai REER Indonesia terus mengalami penurunan. Oleh karenanya hal ini dapat diterjemahkan bahwa secara riil pelemahan nilai tukar rupiah dapat menaikkan nilai ekspor, namun kenyataan yang terjadi justru bertolak belakang. Permasalahan utama yang terjadi adalah, masyarakat secara luas, termasuk para eksportir, belum secara menyeluruh memahami konsep REER ini dan hanya mengacu pada besaran nominal nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar. Pelemahan rupiah yang bebarengan dengan kenaikan harga minyak, secara tidak langsung akan menginjeksi kenaikan inflasi, apalagi jika kondisi pelemahan ini berlangsung terus menerus.

Pasca krisis keuangan global tahun 2008, posisi rupiah terkuat pernah menyentuh level Rp 8.555 per USD pada Mei 2011. Jika merujuk pada data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), kurus rupiah terendah berada di level RP 14.450 per USD. Artinya sejak tahun 2011 hingga sekarang, terjadi pelebaran jarak yang panjang antar dua kurs rupiah terhadap dollar yang terbentuk. Secara komulatif, depresiasi rupiah terhadap dollar, terhitung sejak Mei 2011 adalah sebesar 40,79 persen. Jika memandang dollar sebagai underlying asset, maka depresiasi sebesar 40,79 persen tersebut dapat diartikan bahwa rupiah telah kehilangan nilai nominalnya sebesar 40-an persen terhadap mata uang dollar. Hal tersebutlah yang selanjutnya oleh Telisa Aulia, dikatakan bahwa setiap orang yang memegang aset dalam bentuk rupiah akan mengalami penurunan nilai sebesar 40-an persen.

Pelemahan rupiah juga terjadi akibat ulah spekulan. Pengalaman krisis Asia 1997/1998 mengingatkan bahwa akibat ulah spekulan ini menyebabkan terjadinya pelemahan nilai mata uang sejumlah negara dalam posisi yang sangat dramatis. Diakui atau tidak, spekulan – spekulan ini memiliki dana dalam bentuk valuta asing yang begitu banyak, termasuk memiliki lembaga hedge fund yang besar dan disertai dengan jumlah cadangan valas yang mungkin lebih besar daripada negara – negara emerging market seperti Indonesia. Pengalaman inilah yang membuat BI sebagai otoritas moneter mengeluarkan peluru – peluru kebijakannya untuk menghadang laju para spekulan ini.

Harapan Untuk Antisipasi

Selain melihat nilai tukar dari ranah konseptual, nilai tukar yang ideal secara realitas juga harus dilihat dari proses yang terjadi di sektor finansial. Ketika melihat dari sisi finansial, maka seharusnya masyarakat (red: pengguna dollar AS) melihat bahwa dollar sejatinya merupakan suatu barang yang diperdagangkan secara umum. Namun sayangnya, meskipun dollar merupakan sesuatu yang diperdagangkan di pasar finansial, perdagangan dollar tidak disertai dengan arus seimbang dalam hal perdagangan barang/jasa. Disinilah kecenderungan terhadap konsumsi dollar tersebut naik, yaitu hanya dengan memandang dollar AS sebagai sebuah alat tukar semata tanpa melihat volatilitas barang/jasa dalam suatu sektor.

Berbicara mengenai sektor finansial, maka komponen yang dilihat salah satunya adalah devisa yang dimiliki. Sistem devisa yang berlaku di Indonesia saat ini adalah sistem devisa bebas. Sistem devisa bebas mengindikasikan bahwa volatiitas mata uang asing dalam suatu arus kas memungkinkan untuk tidak melakukan pelaporan terhadap otoritas moneter setempat. Disinilah permasalahan tersebut muncul, yaitu dengan adanya sistem devisa bebas, menyebabkan arus masuk dan keluar (capital outflow and capital inflow) cenderung tidak terkontrol dan sulit untuk dimonitor. Implikasi yang selanjutnya timbul adalah mata uang domestik (rupiah) sangat mungkin mengalami fluktuasi yang cukup signifikan (apresiasi dan depresiasi).

Hal yang perlu dilihat baik dari sisi kebijakan, perdagangan, ketidakpastian global, dan sektor finansial di pasar uang seperti uraian di atas, sejatinya akan memunculkan dua persoalan mendasar. Persoalan tersebut pertama adalah bagaimana pemantauan terhadap lalu lintas devisa dan kedua adalah bagaimana penentuan nilai tukar yang lebih kredibel. Jika kedua persoalan tersebut gagal dicari problem solving-nya, maka implikasi yang muncul adalah kekuatan pasar akan mengoreksi pasar uang (yang di dalamnya termasuk nilai mata uang) dalam negeri menuju ke arah yang semestinya berlaku.

Respon pelemahan rupiah yang dilakukan oleh BI dengan cara menaikkan tingkat suku bunga acuannya dalam jangka pendek dapat kembali memperkuat nilai tukar rupiah namun hal tersebut sangat sulit diterapkan untuk jangka panjang. Namun jika melihat trend pelemahan rupiah sejak tahun 2013, rasanya sangat sulit untuk kembali mendigdayakan rupiah di kisaran semula sebab kondisinya sudah jauh berbeda. Faktor fundamental daya saing produksi domestik termasuk subtitusi impor dan promosi ekspor perlu untuk diintensifkan kembali oleh pemerintah, termasuk regulasi dan tata kelembagaan di dalamnya.

Jika melihat keluar, negara – negara seperti Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan justru mengalami tingkat depresiasi yang rendah. Di samping tingkat pertumbuhan penduduk yang rendah (yang akan mencerminkan tingkat konsumsi), faktor penentu lain yang menjadi penyebab rendahnya depresiasi nilai tukar di negara – negara tersebut yaitu arus transaksi neraca berjalan yang sangat diperhatikan. Negara – negara dengan transaksi berjalan surplus cenderung memiliki daya saing ekspor yang kuat. Inilah salah satu kunci sukses stabilitas nilai mata uang mereka. Produktivitas, efisiensi dan daya saing ekspor yang tinggi adalah kunci penentu terulangnya kedigdayaan rupiah. Ke depan diperlukan sinergitas seluruh pihak termasuk otoritas fiskal dan moneter di samping pembenahan tata kelembagaan di masing – masing lembaga terkait.

Referensi:

http://ekonomi.metrotvnews.com/analisa-ekonomi/yNLdgE1N-sampai-kapan-pelemahan-rupiahdiakses pada hari Senin, 17 September 2018 pukul 09.00 WIB www.bps.go.id diakses pada hari Senin, 17 September 2018 pukul 12.00 WIB www.bi.go.id diakses pada hari Senin, 17 September 2018 pukul 14.00 WIB






Lebih baru Lebih lama