Sejarah bicara fakta,
bukan mendongeng dengan cerita. Sejarah bicara muka bukan bicara suara mana
yang terbelah dua. Dunia bercerita tentang perjuangan kaum jelata, bukan
mondongeng tentang orang – orang terkenal lagi kaya. Semua bisa bicara apa
saja, kecuali suara yang dibungkam oleh celah dan durhaka. Ada kala orang
menari dengan suara, bercengkrama dengan fakta, namun sayang hanya sementara
saja. Taipan kian menggema, kapitalis
kian meraja, Pancasila seakan terkurung dalam keranda. Suara terjebak dalam
dialetika, kaum muda pencetus keberagaman, seakan hanya sebagai penonton saja, yang menikmati pentas apik tipuan sandiwara
dengan nama Indonesia.
google.co.id |
Indonesia, negeri indah
yang dipandang sebagai surga, kian mewarnai antero jagad hingga tikus –
tikuspun kerap ingin makan emasnya. Mulai Freeport di Papua hingga ongkang –
ongkang para pejabat negara, seakan melengkapinya. Indonesia, mungkin hanya
cerita yang kian hari suaranya semakin hilang saja, dengan darah mudanya yang
entah kemana. Darah muda, redup dimakan usia bangsa. Usia yang sewajarnya harga
apik sebuah merdeka, malah punah tanpa kejelasan makna. Pemuda yang selalu
mendewakan kepentingan bangsa dan negara hilang tanpa rupa, tak jelas juga suaranya.
Hanya dentuman orasi dan demo tak bermantra yang menjadi andalannya. Sayang, ia
terjebak dalam suara palsu tanpa kekuatan dan daya.
Apalagi para mahasiswa,
seakan sebagai dewa penyelamat negara. Ia menyandang gelar ‘maha ‘ namun
suaranya tertahan di bangku kuliah berujung sarjana. Ruang geraknya hanya berkutat pada
organisasinya, namun terpejam ketika ada seorang pengemis buta minta sedekah
darinya. Ia mulai mengisi serangkaian acara televisi pemerintah hingga swasta,
mulai dari Kick Andy hingga Mata Najwa berhasil disulapnya. Kata ‘ maha ‘
seakan hanya sandangan tanpa andil yang nyata. Mahasiswa, itu sebutannya,
sembunyi di ketiak guru besar yang tiap hari ia kritik tanpa fakta dan
kejelasan yang nyata. Namun, modus tetaplah modus, sekali lagi banyak mafia
bersembunyi dengan kedok mahasiswa Indonesia raya.
Universitas seakan
hanya institusi yang bertugas sebagai pemberi gelar sarjana hingga doktoral
saja. Kontribusinya apa?, hanya membuat orang tertawa. Para guru besar hanya
sibuk dengan rangkaian proyek – proyeknya, namun merem ketika para bandit dan
taipan membeli dirinya. Lewat proyek dan kajian ilmiahnya, ia ingin sulap
negara seperti sebuah teori saja. Nama ilmiah seakan hanya sebagai obat jualan
yang kian hari kian manis bagi yang memakannya. Tunjangan profesi seakan
menjadi sebuah keharusan yang wajib bagi mereka. Sayang mereka lupa, bentangan
wilayah Nusa Tenggara hingga ujung Papua menunggu tangan – tangan mereka. Namun
kajiannya tak pernah selesai entah mengapa. Mungkin, kajiannya hanya tertuju
pada teori dan kepentingan penguasa.
Negarapun demikian
adanya. Berkutat saja pada rangkaian seremonial hingga rekonsiliasi sejarah
namun tak pernah selesai entah mengapa. Mulai dari Presiden hingga kepala desa
sibuk mendata mana BPJS asli hingga berapa inflasi negara. Rakyat tak dapat
posisi tawar yang semestinya, diinjak harga dirinya sedemikian rupa, padahal
semuanya bernama manusia. Indonesia seakan menyerang balik anti tesis
sejarahnya, berkutat pada proses dialektika hingga ribut soal pilkada. Nasib
rakyat seakan menjadi alat kampanye hingga hanya sebatas program kerja di
kertas saja. Media masa seakan dibeli
hanya untuk kasus kopi sianida, namun
entah mengapa rakyat lapar tak menjadi sorotan utamanya. Oh, Indonesia.
Mari kita korek lagi
ceritanya. Bung Karno, sang penyambung lidah rakyat, dicintai rakyat sebagai
pemimpin yang bermartabat. Pak Harto, rajin bekerja mengejar swasembada bagi
negara maupun keluarga. Habibie mendadak menjadi kepala negara, yang melepas
Tim-Tim karena rayuan Australia. Gus Dur bukanlah tipe pengalah. Mega pun
jarang bicara, SBY tenggelam dalam wacana, dan Jokowi fokus kerja entah untuk
siapa. Sejarah mengingatkan ketujuh presiden kita adalah penderita delusion of grandeur, merasa seolah
emas, padahal loyang belaka. Presiden juga manusia, persis seperti baterei yang
ada plus-minusnya. Power tend to corrupt,
absolut power corrupt absolutely, itulah jawaban sebenarnya. Maka paduka
hendaklah bijaksana. Jangan jadi satrio piningit, yang memimpin karena merasa
punya wangsit. Jangan menjadi begawan, yang tinggal di istana atas awan.
Jadilah komandan untuk republik tercinta, yang menanggung amanat para rakyat
bernama manusia, mengurus persoalan 250 juta warga yang mahapelik seperti
mahabarata.
Yang lebih geli adalah
para wakil rakyat di gedung kura – kura. Mulai dari jas hingga toilet dibiayai
oleh negara lewat uang rakyatnya. Menipu rakyat dengan pemilu menjadi hal
wajar, karena hanya wakilnya yang boleh marah, sementara rakyat hanya bisa
pasrah. Dentuman suara keras menghadang program kerja, yang harus mendapat
stempel dari para wakil rakyat di gedung kura – kura. Stempel nya bernama uang
lewat proyek – proyek yang kian hari kian fantastis harganya. Rakyat merem
meski mengetahui busuknya. Namun apa daya, para wakilnya melebihi seorang
ksatria, yang bersembunyi di balik wajah para pimpinan partai dengan alibi
demokrasinya. Mahabarat seakan menjadi cerita wayang namun ingin muncul untuk
pentas dengan wakil rakyat sebagai pemerannya. Dalangnya adalah ketua
partainya, yang menohok negara atas nama kepentingan rakyat dan martabat
bangsanya.
Kembali lagi ke para
pemuda. Mereka nina bobok jika ada uang untuk menutup mulutnya. Apalagi
mahasiswa, seakan hanya sibuk mencari dosen yang mengurusi proyek – proyek
negara. Universitas negeri seakan menjadi bualan semata tanpa sebuah kejelasan
dan sumbangsih nyata. Lewat ranking teratas hingga biaya yang mahal adanya,
gelar mulai diperjual belikan, namun ujung – ujungnya hanya menjadi
pengangguran. Rakyat menangis, namun proyek PKM seakan menjadi sesuatu wajib
baginya. Derap langkah hanyalah ingus yang disedot namun tak bisa dibuang. Maka
apakah ini yang bernama negara?. Apakah ini yang esensi sumpah pemuda?. Rasa –
rasanya, aku hanya bisa merindu para pemuda di ujung senja.
Oleh: Abdul Razak
Penulis adalah Pimpinan Redaksi BPPM Kliring Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta 2017