Indonesia di Ambang Kesenjangan Ekonomi

Foto: KLIRING/Advent Fajar


Di tengah suasana hujan deras pada Selasa (18/9) sore kemarin, Research of Economic Development (RED), Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Ekonomi Pembangunan, menghelat acara diskusi publik yang dibuka untuk umum di Ruang Seminar Fakultas Teknologi Mineral, Gedung Arie Fredrik Lasut. Acara tersebut mengambil tema "Monopoli Kapitalisme : Jurang Pemisah Si Kaya dan Si Miskin". Meskipun hujan deras melanda kampus UPN "veteran" Yogyakarta (UPNVY), tidak lantas menyurutkan semangat peserta diskusi untuk menghadiri acara. Terlihat, bangku peserta pun hampir penuh terisi.

Waktu menunjukkan pukul 16.15 WIB, acara diskusi pun dimulai, dimoderatori oleh Nabhan, Ketua KSM RED 2018. Kemudian, selama setengah jam, Dr. Revrisond Baswir, M.B.A, Ak. CA, Pakar Ekonomi Kerakyatan, selaku narasumber memaparkan materinya hingga pukul 17.00 WIB.

Di sela pemaparan materi, Ia mengatakan bahwa tema diskusi yang tengah dibahas bukanlah tema yang sebenarnya yang diminta oleh panitia diskusi pada awalnya. "Tema diskusi hari ini adalah hasil kompromi saya dengan panitia (diskusi)," jelasnya. Sebelumnya, tema diskusinya adalah depresiasi Rupiah yang tengah ramai diperbincangkan di media sosial (medsos). Menurutnya, "Pelemahan Rupiah ramai (dibicarakan) karena tahun politik, oposisi membesar-besarkannya." Ia menambahkan, "Kampus jangan sampai diwarnai medsos, kampuslah yang seharusnya memberi warna pada medsos."


Foto: KLIRING/Dimas K. Fajri


Adapun alasan kesenjangan lebih penting untuk dibahas karena, "Satu persen orang terkaya di Indonesia memegang lima puluh persen kekayaan negara," terangnya. Di data lain yang dia tunjukkan, 10 persen orang terkaya di Indonesia memilki sekitar 77 persen seluruh kekayaan negara (World Bank : 2016). Oleh sebab itu, kesejangan ekonomi menjadi permasalahan yang prinsip untuk dibahas. Merujuk konstitusi Negara Indonesia, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33, seharusnya fenomena tersebut tidaklah terjadi karena Indonesia menganut demokrasi ekonomi. Yang artinya, negara yaitu pemerintah, semestinya menjamin inklusivitas ekonomi bagi seluruh warga negara. Akan tetapi, karena kepentingan politik, yang terjadi justru berlawanan seratus delapan puluh derajat. Kekayaan Indonesia telah dikuasai segelintir kaum elit, sedangkan yang miskin makin terpuruk.

Ide demokrasi ekonomi yang termaktub di dalam pasal 33 UUD 1945 adalah buah pikiran para Founding Fathers Negara Indonesia, seperti Soekarno, Moh. Hatta, dan yang lain.  Hal itu tak lepas dari corak pemikiran sosialisme yang banyak menginspirasi pemikiran kalangan pemuda pada saat itu. "Indonesia didirikan oleh (para) pemuda berhaluan sosialis," katanya.

Pada masa awal kemerdekaan, lahirlah koperasi yang digagas oleh Moh. Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, untuk menggerakan perekonomian Indonesia yang berkeadilan. Mengganti sistem perekonomian sebelumnya yang mewarisi corak perekonomian kapitalisme kolonialis Belanda. Maka dari itu, sejatinya para Founding Father telah merancang tatanan perekonomian  Indonesia ke depan yang lebih condong bercorak sosialis.

Akan tetapi, "Di tahun 1965 telah terjadi konfrontasi antara golongan  kapitalis dan golongan sosialis" jelasnya. Golongan sosialis pun tergusur oleh rezim baru yang membawa kepentingan kaum kapitalis. Dampaknya, corak perekonomian Indonesia mengalami perubahan drastis. Investasi modal asing banyak yang masuk. Koperasi yang sebelumnya digaungkan sebagai ciri khas ekonomi Indonesia, tidak lagi menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia. Bahkan ironinya mata kuliah koperasi kini bukan mata kuliah wajib di Program Studi Ilmu Ekonomi. Maka, "Diskusi mengenai ketimpangan ekonomi harus lebih diutamakan dan diperhatikan secara serius," tegasnya.

Setelah narasumber selesai memaparkan materi, forum dilanjutkan dengan diskusi hingga menginjak pukul 17.45 WIB, tepat waktu maghrib. Diskusi dibagi ke dalam dua sesi tanya jawab dan berlangsung interaktif. Ada enam penanya dari peserta yang berasal dari beragam jurusan, bahkan ada yang berasal dari luar UPNVY. Diskusi pun ditutup oleh narasumber  dengan sebuah pesan, "Mahasiswa harus merdeka (secara) pengetahuan."

Reporter: Diautoriq Husain




Lebih baru Lebih lama