Carut Marut Ekonomi, Buntut Efek Domino PPN 12%


Foto: Erena


Kliring.com - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 12% sudah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 7 Oktober 2021. Masihkah ada waktu untuk membatalkan dan protes atas kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%? 


Kenaikan PPN dibahas dan ditetapkan dalam Undang - Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada pemerintahan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Jokowi memberikan tanggapannya terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12% saat diwawancarai di kediamannya, bahwa aturan itu sudah diputuskan DPR sehingga pemerintah harus menjalankannya (sumber:detik.com). HPP dilatarbelakangi oleh defisit fiskal akibat dari Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan berkeadilan dan berkepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis pajak serta meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Terdapat beberapa barang dan jasa yang tidak terkena dampak dari kenaikan tarif PPN, diantaranya barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jasa lainnya. 


Melalui konferensi pers yang bertajuk “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan” pada 16  Desember 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa barang dan jasa mewah termasuk barang kebutuhan pokok premium, jasa kesehatan premium, dan pendidikan premium akan dikenakan PPN 12%. Namun, tidak dijelaskan lebih detail lagi terkait kebutuhan pokok premium seperti beras premium jenis apa yang akan tekena PPN 12% dan barang atau jasa lainnya, yang menimbulkan informasi asimetri antara pemerintah dan masyarakat. Bersama Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan beberapa menteri lainnya dalam Kabinet Merah Putih mengumumkan bahwa tarif PPN 12% akan tetap berlaku mulai 1 Januari 2025.  


Dampak Kenaikan PPN Menjadi 12%

PPN sebagai pajak konsumsi memiliki karakter regresi yang cenderung lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan mereka yang lebih mampu secara ekonomi. Naiknya PPN dari 11% ke 12% pada 1 Januari 2025 akan memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat, pengusaha, dan perekonomian nasional.


Bagi masyarakat, kenaikan PPN menjadi 12% ini berpotensi memperlambat laju pertumbuhan konsumsinya, ini terjadi karena masyarakat akan mengerem konsumsinya sehingga laju konsumsi rumah tangga ikut melambat. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan pada sektor produksi makanan dan minuman mengalami tekanan sehingga dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional.


Bagi pengusaha, bisnis yang bergantung pada konsumsi rumah tangga seperti sektor retail dan usaha hiburan, berisiko kehilangan omset lebih besar. Selain itu, sektor usaha yang menjual barang atau jasa dengan elastisitas permintaan tinggi juga merasakan dampak yang lebih besar atas penurunan daya beli konsumen.


Kelompok berpenghasilan rendah dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi yang paling rentan terkena dampak kenaikan PPN. Sementara itu, pengusaha besar akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan kebijakan baru ini.


Secara keseluruhan, rentetan dampak ini akan menimbulkan efek domino layaknya bola salju yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian secara keseluruhan. PPN yang dikenakan pada faktor-faktor produksi, secara tidak langsung akan menyebabkan kenaikan harga pada barang-barang yang tidak dikenakan PPN. Naiknya harga menyebabkan penurunan daya beli, yang kemudian berdampak buruk pada kondisi makroekonomi. 


Apabila tarif PPN dinaikkan tanpa mempertimbangkan kapasitas daya beli rakyat, ekonomi nasional justru berpotensi terperangkap dalam spiral kontraproduktif.  Pajak yang tinggi menciptakan ketidakpastian dan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat. Sebaliknya, pajak yang moderat memberikan ruang bagi masyarakat untuk tumbuh, bekerja, dan berinvestasi dalam ekonomi.


Sumber: Mekari Klik Pajak


Demo Terhadap Kenaikan PPN

Menanggapi kebijakan yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi demonstrasi menolak kenaikan PPN 12%. Aksi ini digelar di kawasan istana negara. Tuntutan penolakan terhadap kenaikan PPN karena kebijakan ini justru dianggap menjadi ancaman bagi rakyat kecil di tengah tingginya biaya kebutuhan hidup. 


Selain di kawasan istana negara, aksi juga dilakukan di berbagai titik di Indonesia, antara lain di Makasar, Jombang, Yogyakarta, Jepara, Bukittinggi, serta beberapa daerah lainnya. Aksi yang dilakukan di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat pada Jumat, 27 Desember 2024 berujung ricuh. Kericuhan ini terjadi karena pembubaran paksa massa aksi oleh kepolisian. Dikutip dari laman Tempo, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Komisaris Besar Susatyo Purnomo Condro membantah disebut melakukan pembubaran paksa terhadap massa aksi tolak PPN 12% itu. Ia mengungkapkan bahwa pembubaran yang dilakukan perkara batas waktu yang seharusnya menurut peraturan hanya sampai pukul 18.00 namun massa menolak negosiasi batas waktu, dan tetap melanjutkan aksi. 


Kesadaran Masyarakat Terhadap Kebijakan

Kenaikan PPN menjadi 12% ini mendapat atensi yang cukup besar dari masyarakat, hal ini dibuktikan dengan usaha masyarakat menaikkan tagar #tolakppn12persen di Twitter sejak beberapa hari yang lalu. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap dampak dari kebijakan ini juga bisa dilihat melalui konten-konten di sosial media yang menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kenaikan PPN menjadi 12%. 


Apakah HPP Bisa Dibatalkan Atau Direvisi?

PPN dengan tarif 12% sudah ditetapkan oleh DPR RI pada 7 Oktober 2021. Masihkah ada waktu untuk membatalkan dan protes atas kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%?  Undang - Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang HPP Pasal 7 Ayat (3) Bab IV menyebutkan bahwa rentang perubahan tarif PPN antara 5% sampai 15%, jadi masih ada potensi untuk menurunkan atau menaikkan tarif PPN. Beberapa jam lagi menjelang Tahun Baru 2025 tepatnya tarif PPN 12% akan dijalankan, masih menunjukan secercah cahaya harapan bagi berbagai kalangan masyarakat  agar kebijakan tersebut direvisi atau dibatalkan. Apabila pemerintah memihak dan mendengarkan suara rakyat, maka Presiden memiliki wewenang untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang (Perpu) yang dapat dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.  


Di samping itu, masyarakat justru menanyakan ‘timbal balik’ dari kenaikan tarif PPN atas kewajiban yang mereka berikan kepada negara dari jerih payah sendiri. Apakah dana yang dikumpulkan akan dikelola secara efisien dan tepat sasaran, sehingga sebanding dengan fasilitas yang disediakan pemerintah di kemudian hari atau anggaran akan digunakan pada hal lain disamping penyediaan fasilitas umum untuk masyarakat. Melihat masih banyaknya tingkat korupsi di pemerintahan terlebih di sektor pajak menimbulkan trust issue masyarakat alih-alih meningkatkan kepatuhan sukarelawan Wajib Pajak tetapi sistem transparansi dalam pajak yang belum mendukung dalam hal itu. Apakah dengan meningkatkan tarif pajak akan meningkatkan kepatuhan sukarelawan pajak untuk merealisasikan target tax ratio disaat tingkat korupsi di pemerintahan yang tak kunjung meredam? Karena tantangannya tidak hanya dalam penerimaan pajak tetapi juga dalam pengelolaan dan transparansi anggaran pajak.


Penulis: Erena Valentina, Niken Kusumaning

Editor: Shela Ananta


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama