http://www.rmol.co |
Dua dekade lampau, tepatnya di tanggal 21 Mei 1998, menjadi
hari bersejarah dalam perjalanan pucuk kepemimpinan pemerintahan negara
Indonesia, tak terkecuali bagi mahasiswa. Kala itu, aksi massa yang dimotori
oleh mahasiswa berhasil menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan
reformasi dengan menuntut lengsernya rezim orde baru, yaitu presiden Soeharto.
Rezim otoriter yang telah berkuasa selama 32 tahun. Di hari itu presiden
Soeharto berhasil ditumbangkan dan digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie.
Peristiwa heroik tersebut pun menjadi salah satu bagian sejarah yang selalu
dikenang dan dielu-elukan oleh mahasiswa di setiap generasinya. Gelombang
protes yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia termasuk mahasiswa di dalamnya
mampu menjungkalkan seorang rezim diktator yang sudah memimpin selama tiga
dekade lebih. Walaupun sudah berlalu lama, tetapi romantisisme peristiwa
tersebut masih bergelora di alam pergerakan mahasiswa hingga sekarang. Bahkan,
terkadang masih ada beberapa golongan mahasiswa yang mendambakan terulangnya
kembali peristiwa tersebut.
Dari segi politik, reformasi adalah sebuah jalan tengah
ketika kekuatan rezim diktator dengan oposisinya saling berimbang. Ketika rezim
diktator sudah tidak mampu memberangus oposisinya dan pihak oposisinya juga
tidak cukup kuat untuk melakukan revolusi. Akan tetapi, dalam banyak kasus di
negara-negara yang mengalami transisi demokrasi. Reformasi justru lebih
menguntungkan rezim lama yang populer disebut “reformis gadungan”. Parahnya,
reformasi hanya menjadi kedok pergantian kekuasaan diantara elit oligarki
secara damai karena rezim lama dan kroni-kroninya memiliki sumber daya dan
posisi yang lebih mapan ketimbang oposisinya. Sehingga, di beberapa negara
Amerika Latin reformasi hanya menjadi bungkus perubahan rezim politik yang
didesain secara sengaja untuk memuluskan agenda-agenda neoliberalisme.
Akibatnya, lahirlah rezim neoliberal hasil pemilu (neoliberal-electoral regime).
Kemunculan rezim neoliberal tersebut tidaklah muncul
sebagai hasil pembajakan demokrasi oleh elit oligarkis atau kaum reformis
gadungan. Yang terjadi malah kaum reformis memang sudah terlibat sejak awal
untuk merancang sistem demokrasi yang mampu mewadahi kepentingan mereka.
Alih-alih, pemerintahan yang baik (good
governance) berjalan efektif di era reformasi, yang terjadi malah kaum
reformis gadungan memanipulasinya untuk memuluskan kepentingan mereka sekaligus
menindas perlawanan rakyat dengan kebijakan neoliberalnya sehingga pemerintahan
yang baik (good governance) hanyalah
nama dan gagal berjalan efektif.
Berdasarkan hal tersebut dengan berkaca yang terjadi pada
hari ini, terlalu naif nampaknya kalau reformasi memang sudah benar-benar
terjadi 20 tahun yang lalu. Perubahan yang terjadi belumlah layak untuk
merepresentasikan reformasi itu sendiri. Yang terjadi malah munculnya rezim
baru menggantikan rezim sebelumnya. Maka setiap 21 Mei lebih tepat dikatakan
sebagai hari lengsernya presiden Soeharto, bukanlah sebagai hari reformasi.
Oleh sebab itu, peran mahasiswa belumlah usai. Mahasiswa
harus terus mengawal reformasi dan mengembalikannya ke jalannya. Maka, momen
mengenang reformasi semestinya menjadi momen untuk menuntut mahasiswa untuk
tetap berada pada garis (khittah)
perjuangan dan perlawanan. Karena mahasiswa mempunyai andil besar pada
terjadinya reformasi maka mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang besar pula
untuk mengawal reformasi.
Di era ini, reformasi mesti diperbaharui dengan definisi yang
baru. Sehingga dengan keterbatasannya, reformasi dapat dimaknai sebagi ruang
yang bisa dimanfaatkan untuk mendesakkan program-program yang berpihak pada
rakyat. Dengan itu, reformasi akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk
berjuang dan menjungkalkan rezim neoliberal. Dan akhirnya, reformasi akan
benar-benar dikenang dan dirasakan.
Penulis : Diautoriq Husain