GONJANG GANJING FREEPORT INDONESIA

GONJANG GANJING FREEPORT INDONESIA
Teks Oleh : Dina Ariesta

source : www.mining.com


Indonesia seakan tidak pernah rehat dari gonjang-ganjing permasalahan. Belum berakhir persoalan terkait penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok, gemuruhnya aksi 411 dan 212, serta lain sebagainya, saat ini tanah air kita diterpa permasalahan terkait PT. Freeport Indonesia.  PT Freeport Indonesia diiduga berencana menyeret Pemerintah Indonesia ke meja arbitrase terkait permasalahan perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoran Copper dan Gold Inc, di mana perusahaan tersebut menambang, memproses, dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung emas, tembaga, dan perak. Permasalahan ini berawal dari penolakan PT. Freeport terhadap perubahan status KK menjadi IUPK karena jika status PT. Freeport menjadi IUPK maka ia harus membayar disvestasi 51% secara bertahap dan harus tunduk pada kewajiban pajak yang prevailing (berubah-ubah). Lalu, apa perbedaan Kontrak Karya (KK) dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)?
Perbedaannya adalah kalau KK kedudukan negara dan investor sama, pengelola tambang berkuasa penuh di lokasi tambang, selain itu juga ketentuan pajak yang berlaku naildown di mana kewajiban perpajakan badan usaha tidak akan berubah hingga masa kontrak berakhir, sedangkan IUPK negara berada di posisi lebih tinggi karena dapat mengeluarkan dan mencabut izin, pengelola tambang tidak berkuasa penuh terhadap lokasi, ia harus tunduk pada Undang-Undang dan peraturan daerah, divestasi, dan juga ketentuan pajak yang berlaku prevailing di mana kewajiban perpajakan badan usaha berubah-ubah.
Sebenarnya legitimasi PT. Freeport Indonesia sampai tahun 2021 yaitu kekuasaan berdasarkan kontrak karya, namun karena adanya Undang-Undang mineral dan batu bara (Minerba) No 4 tahun 2009 maka kontrak karya dihapuskan dan digantikan dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan inilah  yang dikecam oleh PT. Freeport Indonesia, saking kuat niatnya untuk mencegah pemerintah merubah KK menjadi IUPK ia sampai melakukan berbagai cara salah satunya yaitu mengancam akan melakukan PHK terhadap karyawan sebagai salah satu aksinya menekan pemerintah. Selain itu, PT. Freeport Indonesia juga berencana akan membawa permasalahan ini ke Arbitrase Internasional, namun pemerintah masih berharap dan berusaha agar permasalahan ini bisa diselesaikan dengan cara negosiasi tanpa harus membawa masalah ini ke meja arbitrase pasalnya hal itu malah akan mengganggu aktivitas pertambangan.
Seperti yang dilansir pada kompas.com terdapat enam poin yang dinilai Preside Direktur Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson memberatkan yaitu Pertama, terkait perubahan ketentuan divestasi saham sampai dengan 51% secara bertahap, Kedua terkait perubahan jangkat waktu  permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), paling cepat lima tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha, Ketiga terkait pemerintah yang mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batubara.
Keempat pemerintah yang mewajibkan pemegang kontrak karya untuk mengubah izinnya menjadi rezim perizinan pertambangan khusus operasi produksi, Kelima yaitu terkait penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu terkait pengaturan lebih lanjut tata cara pelaksanaan peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam.
PT. Freeport dan pemerintah memiliki deadline 120 hari semenjak dikirimkannya surat Adkerson selaku Presiden Direktur Freeport McMoran Inc kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, surat tersebut berisi tentang perbedaan status Kontrak Karya (KK) dengan IUPK. Jika sampai batas waktu yang ditentukan pemerintah dan PT. Freeport belum menemukan kata sepakat maka PT. Freeport Indonesia akan mengajukan arbitrase ke badan hukum Internasional.
Indonesia patut waspada karena peluang Indonesia untuk menang di arbitrase hampir sama dengan peluang kemenangan PT. Freeport, karena dari pihak pemerintah pun telah melanggar ketentuan dimana mengizinkan Freeport Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang tidak sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, selain itu penghentian status Freeport dari KK menjadi IUPK secara sepihak tanpa negosiasi terlebih dahulu juga diduga menjadi kelemahan bagi pemerintahan di dalam arbitrase.
Masih banyak jalan menuju roma, itu lah pepatah yang cocok karena pemerintah masih memiliki peluang untuk unggul di dalam arbitrase dengan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia, seperti yang dimuat pada CNN Indonesia bahwa Freeport tidak melakukan kewajibannya membayar divestasi saham padahal hal itu tercantum pada pasal 24 Kontrak Karya, Freeport juga telah melanggar pasal 10 Kontrak Karya terkait kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian, disamping itu juga Freeport tidak mengindahkan pasal 2 Kontrak Karya yang menyebutkan bahwa Freeport harus tunduk pada peraturan pemerintah. Akan tetapi, Indonesia juga tidak perlu terlalu khawatir karena pemerintah pasti dapat menangani persoalan ini dengan baik dan mendapatkan hasil yang baik pula pasalnya ini bukanlah pertama kalinya pemerintah menyelesaikan kasus sampai ke arbitrase Internasional, sebelumnya pemerintah juga pernah memenangkan arbitrase terhadap PT. Newmont Nusa Tenggara tahun 2008 yang menjadikan PT tersebut membayar divestasi saham.
Kita harus bangga dan mengapresiasi kebijakan pemerintahan Jokowi ini, karena dengan adanya perubahan KK menjadi IUPK sangat memberikan keuntungan bagi negara dan bangsa Indonesia. Sudah bertahun-tahun PT. Freeport berdiri di Indonesia terhitungan sejak tahun 1988 Freeport mengeskploitasi tambang Indonesia tetapi ironisnya justru bangsa Indonesia sendiri tidak merasakan keuntungan sedikitpun dengan adanya kegiatan pertambangan tersebut. Padahal itu adalah sumber daya alam kita tetapi kita bahkan tidak merasakan keuntungan dari kekayaan tanah air kita sendiri, jangankan kita yang tidak tinggal daerah pertambangan itu berada Kabupaten Timika Papupa yang menjadi lokasi Freeport berada juga hanya merasakan keuntungan sedikit dari kegiatan pertambangan tersebut.
Sudah saatnya kita bangkit dari kenaifan, sudah saatnya kita menunjukkan taring kita yang sebenarnya. Selama ini kita hanya menjadi penonton, menyaksikan kekayaan sumber daya alam negara kita dikeruk oleh orang asing tanpa sadar bahwa negara kita sudah dikuasai.   Selama ini PTFI sudah sangat diberi kelonggaran kepada pemerintah di rezim-rezim sebelumnya seperti divestasi saham yang hanya sebesar 31%, entah itu semua dilakukan karena demi tetap terjalinnya kerjasama atau memang karena ada kongkalikong dibelakang antar pihak yang berkepentingan, akan tetapi pemerintah sekarang kembali mendesak PTFI untuk divestasi saham 51%. Kita harus mendukung usaha pemerintah tersebut agar tidak gentar terhadap setiap kecaman yang dilontarkan oleh pihak PTFI dan dapat tercapainya tujuan demi kesejahteraan bangsa Indonesia, karena angka 51% itu adalah angka yang diamanatkan bangsa Indonesia kepada pemerintah.
Ditengah permasalahan yang bergejolak terkait kontrak antara PTFI dan pemerintah kita juga berharap hal ini  tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap perekonomian Indonesia, dan juga sepertinya bangsa Indonesia dapat bernafas lega karena seperti yang dilansir pada harian kompas bahwa perekonomian Indonesia cukup baik mencapai 5.02%. Hal itu diperkuat oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tercatat bahwa revitalisasi investasi selama 2016 sebesar 612.8 triliun, jumlah itu melebihi target yang ditetapkan sebesar 594.8 triliun. Hal itu menunjukkan bahwa kemelut yang terjadi pada Freeport tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Mungkin bangsa Indonesia bertanya-tanya apakah arbitrase merupakan langkah yang baik bagi Indonesia atau tidak, sebenarnya dalam suatu permasalahan atau dalam urusan bisnis langkah yang baik adalah dengan bernegosiasi karena dengan bernegosiasi dapat dihasilkan win win solution dimana kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Jelas saja karena tujuan negosiasi adalah mencapai titik temu antara kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian konflik melalui pengadilan ataupun arbitrase malah tidak efektif dan efisien, itu semua membutuhkan proses yang lama dan biaya yang tidak sedikit pula. Apalagi proses tersebut akan menghambat kegiatan Freeport. Apabila kegiatan Freeport terhambat maka produksi pun sedikit dan kegiatan ekspor berkurang dari biasanya itu malah akan memperburuk keadaan.
Namun, balik lagi kepada kesepakatan kedua belah pihak jika PT. Freeport Indonesia masih kekeh untuk membawa permasalahan ini ke dalam Arbitrase Internasional, pemerintah harus berani menerima tantangan tersebut. Pemerintah harus mengangkat dagu dan mengeluarkan taring jangan sampai mencla mencle didepan lawan karena sekali pemerintah lengah maka masa depan Indonesia akan terombang-ambing.
Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia sudah sepatutnya untuk saling bekerja sama dengan pemerintah. Mendukung setiap keputusan yang diambil pemerintah karena masa depan Indonesia berada ditangan kita semua dan apapun hasil dari kesepakatan kedua belah pihak nanti semoga kesepakatan tersebut membawa Indonesia kepada kesejahteraan dan keadilan.


Penulis adalah Kepala Staf Kajian Ekonomi dan Bisnis Redaksi BPPM Kliring Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta 2017
Lebih baru Lebih lama