BERDESAKKAN DITENGAH HAMPARAN

http://pipitskulls.blogspot.co.id


BERDESAKKAN DITENGAH HAMPARAN
 Teks Oleh       : Vinda Mualifah

         
   Selamat pagi harum bunga bumi pertiwi, tak henti ku cumbui wangimu dengan jiwa dan ragaku, ku hirup hembusan oksigen yang tiada ternilai dengan tanpa meminta balasan kau ikhlaskan, atau dengan semua yang kau hasikan tanpa sungkan disuguhkan. Tak peduli apa aku, tak peduli siapa aku, ataupun memilah yang mana yang akan kau curahkan kehidupan. Lautan dan daratan Dia berikan dengan sejuta keindahan untuk menaburkan wangi dari bumi pertiwi, yang setiap manusia-Nya berhak “mengendus” bau nya. Pohon pinus sampai rumput ilalang tersuguhkan. Dari ayam hingga belalang bahkan bertebaran. Semua tersedia disini tanpa kau harus pergi kesana, sudah tersedia.

            Siapapun mendamba hidup disini, semua orang berkerumun berdesakkan menginginkan tempat ini,, iya disini, bukan di tempat lain. Disini di “rumahku” tempat aku pertama kalinya memandang dunia, tempat ku pertama kalinya melihat, melangkah mantap menyongsong kehidupan. Aku terbebas dari “penjara” yang membatasi ruang gerakku selama kurang dari 9 bulan.

            Gundukan tanah serta hamparan lautan cukup membuatku puas telah terlahir disini, mereka bahkan berebut menguasai “rumahku” ini. Hingga pecah buncah pertempuran demi pertempuran yang menyebalkan. Pertempuran antara pemilik rumah dan penjajah yang berusaha menjadikan rumahku ini di bawah kendali nya, menjijikkan memang, entah mereka itu apa yang pantas disebutnya. Berusaha merampas yang bukan haknya, menginjak-injak kaki kokoh pertiwi, mereka berikan luka sayatan di telapak tangan, dengan mempekerjakan kami tanpa pedulikan pedih perih kami yang tiada henti, bahkan tega merobek dada bidang kami tanpa secuil pun peduli kan perasaan memilukan. Haus, lapar dan pecutan adalah makanan setiap hari. Romusha, rodi, tanam paksa dan masih banyak yang lainya, cukup merontokkan wangi bunga ibu pertiwi.

            Tapi tenang saja itu dahulu kala, sebelum ada kata merdeka, sebelum Ir. Soekarno memukul gong Proklamasi hingga menggema. Hingga ke mancanegara, gagahnya menakuti seluruh dunia. Gaungnya tak tergoyahkan setelah nya, titik pemulihan dari jajahan Belanda.

            Kini semua dapat bernafas lega tak ada lagi pengekang hak-hak manusia. Tak adalagi penjajah keji seperti mereka, dan bahkan terbebaskan dari belenggu asa yang tak akan lagi menjelma. Tapi benarkah itu ? Benarkah apa yang dibicarakan?. Benarkah kita telah benar-benar terbebaskan ?. Benarkah kehidupan lebih meyakinkan, untuk kami bangsa yang lelah terjajahkan? Merdekakah kita?. Entahlah.

            Muncul begitu banyak pertanyaan, di banyak otak. Dengan apa yang terjadi sekarang, dengan realita yang menyedihkan, bangsa Indonesia di bawah naungan “merdeka” namun banyak yang belum terbebaskan. Berjuta manusia bahkan tak merasakan perubahan, dahulu menderita sekarang pun juga. Lalu dimanakah bedanya?. Dimanakah letak titik imbal hasil dari ucapan setelah gaung Proklamasi diperdengarkan? Permasalahan sosial kian kompleks, penduduk kampung kumuh bersengketa dengan penduduk komplek. Differensiasi sosial yang semakin mencolok mata setiap siapapun yang melintasi “tanah surga” ku ini, pengaruh budaya yang bukan pribadi kami asalnya namun justru hampir mendarah daging demi sebuah kata tak ketinggalan zaman. Sebenarnya bukankah tak apa jika pemuda berpegang teguh dengan apa yang telah di wariskan nenek moyang?. Sopan santun, gotong royong, ramah-tamah, kini semakin sulit kutemukan. Pergi kemana semua itu?. Entah apa yang ingin ditunjukkan pemuda di zaman yang katanya kita telah merdeka.            


             Tidak!. Tidak dan tidak. Kita belum merdeka sesungguhnya, karena kita masih didalam belenggu erat yang imbasnya perlahan namun justru memiliki kekuatan super untuk dapat meruntuhkan fondasi dan menghancurkan serta mengeruk habis apa yang sudah dicapai dengan keringat serta darah bertumpah ruah. Sadarlah sampai saat ini kita masih terjajah!. Terjajah dan terjejali beragam hal yang memudahkan. Teknologi telah menjadi salah satu sarana terbaik bagi mereka tuk dengan gampangnya, membungkusnya dengan sedemikian rupa, begitu indahnya. Kemajuan teknologi membuat kita tak sadar betapa terjajahnya kita, para pemuda dirusaknya mental anak bangsa namun tak terasa. Kemlaratan, pendidikan, serta anak jalanan menjadi salah satu hiasan. Loper koran, pengemis dan gelandangan masih menjadi penghasil uang menjanjikan bagi mereka yang hanya bisa terfikirkan hari ini yang penting bisa makan. Dan bersebrangan dengan “pengemis berambut klimis” atau “penjajah berbadan gagah” yang terus saja saling “suap” satu sama lain. Mesra sekali, tanpa peduli “hiasan-hiasan” yang justru terus berkeliaran.

            Tidak sedikitpun dipedulikan, jeritan dan teriakan yang semakin memekakkan telinga setiap orang berhati nurani. Rasa geram dan berguncang saat memandang realita kemerdekaan yang hanya dirasa oleh “dia” si pemilik kekuasaan. Tidak hanya itu saja, semakin banyak dan bergejolak. Peremajaan teknologi pun turut andil mempengaruhi, Kita seolah telah berada di titik puncak zona ternyaman dengan apa yang telah “mereka” suguhkan, tanpa sadar “mereka” kembali menjajah. Menjajah mental anak bangsa yang akan di pertaruhkan untuk masa depan Indonesia. Namun masih ada waktu….namun masih bisa jika kau mau. Karena tidak ada kata terlambat untuk setiap perbaikan. Sudah saatnya kita sebagai penerus bangsa tidak hanya duduk angkat kaki satu diatas kursi dengan menikmati secangkir kopi, namun di belakangnya masalah demi masalah kian berjuta.

            Buka mata! Jangan mau terpejam walau hanya sesaat, pasang badan, jiwa raga serta pikiran. Bukan saatnya lagi menggantungkan tangan dan membiarkan permasalahan semakin berjuta di negeri tercinta. Ayolah. Bangkitlah pemuda jangan sampai tetesan keringat dan kucuran darah yang kakek nenekmu relakan akan menjadi sia-sia belaka. Terus lanjutkan.. perjuangan belum berakhir. Perjuanganmu lebih sulit karna bukan saja penjajah yang kau lawan melainkan dirimu sendiri dengan penuh ke egoisan dengan berjuntai kenikmatan yang menhancurkan. Buka mata, bangun dan katakan ku tak takut akan jutaan masalah dan aku akan menyelesaikanya bersama-sama, karna aku tak takut pada negeriku sendiri dan biarkan aku meski kini bagai “berdesakkan di tengah hamparan” masalah yang tiada henti namun percayalah jika kita mau, kita pasti mampu bersama-sama menegakkan bendera kebebasan yang tetap dibatasi pagar moral serta mental.


Penulis adalah Kepala Staf Media Online Redaksi BPPM Kliring Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta 2017.
Lebih baru Lebih lama